Mini Rage Face Happy Smiley

SELAMAT DATANG DI BLOG HIMPUNAN KEKELUARGAAN MALEBUREN DAMAU TALAUD | JANGAN LUPA MENDAFTAR BAGI YANG MERASA MASYARAKAT DAMAU | BAGI YANG SUDA MENDAFTAR SILAKAN CEK KEMBALI AKUN ANDA KARENA FORM PENDAFTARAN BARU DI PERBAHARUI OLEH PIHAK ADMIN | Info : Bagi Anggota Yang Berkeinginan Memposting Artikel Di Blog Ini Pada Saat Mendaftar Masukan Alamat Email Yang Sedang Anda Gunakan Atau Email Yang Valid. Catatan : Cukup Alamat Email Saja | Copprying 2015 Editor By J.M Contack Admin Phone:082348330738 Pin BBM:57389FF7

Kamis, 03 Desember 2015

Cerita Rakyat Damau Kecamatan Damau Kab. Kepulauan Talaud Prov. SULUT

CERITA BANSI LAWONGO DAN NAPOMBALU

Pada zaman dahulu kala telah ada beberapa pemukiman yang didirikan oleh manusia. Walaupun jumlahnya belum dinyatakan dengan pasti umumnya manusia pada saat itu masih primitif, sehingga masih tinggal di gua-gua, batu yang besar dibawah pohon besar yang ridang sehingga tempat perlindungan diri dari panas matahari yang teriuk, huja, demikian juga menghindarkan diri dari serangan binatang buas yang dapat mengancam keselamatan mereka. Hidup manusia primitif hidup secara berkelompok di kepalai oleh seorang kepala keluarga untuk mengatur kesejahteraan dan ketertiban kemasyarakatan dalam kelompok itu.
    Pertanian seperti ladang dan tegelan dikerjakan secara gotong royong dan hasilnya dipakai bersama sebagai penghidupan bersama dalam kelompok itu. Kepercayaan mereka ialah : Animisme yang artinya : menyembah berhala, seperti memuja orang mati yang dianggap sakti, gua-gua dan pohon-pohon yang besar yang dianggap berjimat, serta binatang-binatang yang sakti seperti : Ular Naga, Buaya, Hiu dan binatang-binatang yang lain yang mempunyai keanehan. Dengan kepercayaan ini sehingga mereka menghornatinya dan pada tiap bulan purnama mereka mepersembahkan korban untuk dewa-dewa tersebut, agar dewa-dewa itu tidak marah kepada mereka. Diadakan tolak bola yang diatur oleh kepala keluarga mereka agar jangan ditimpah bencana dan malapetaka. Misalnya : di timpah wabah penyakit, bila kelaparan, musim kemarau yang panjang dan sebagainya. Mereka sangat menghormati kepala keluarga itu dan menurut semua petunjuknya, sebab ia dianggap sebagai pimpinan mereka. Pimpinan keluarga itu tidak bekerja diladang ia hanya dirumah untuk memikirkan kesejahteraan kemakmuran warga keluarganya. Untuk menjaga kemakmuran warganya dijaga ketat melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti berbuat cabul, membunuh, mencuri, menipu hal-hal yang bertentangan dengan adat istiadat yang sudah disampaikan oleh kepala keluarga kepada anggota keluarga yang sering atau sengaja melanggar ketentuan ini diberikan ganjaran sesuai hukum adat yang berlaku yang ditimpahkan oleh kepala keluarga.
    Sangsi pelanggaran hanya dua : Berat dan Ringan. Yang berbuat cabul ditenggelamkan hidup-hidup di dasar laut, pembunuh dengan doti orang itu dikuburkan hidup-hidup dalam tanah, yang mencuri dan menipu serta lain-lain diberikan sangsi mengadakan plakat sepanjang pemukiman, sesudah itu membuat pesta adat memberi makan seluruh warga keluarga untuk memintakan maaf kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak berbuat lagi mengulangi perbuatan ini. Dengan demikian maka seluruh warga keluarga itu menjamin hukum adat itu demi terjaminnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat.






“ASLINYA BANSI LAWONGO DAN NAPOMBALU”


    Bansin Lawongo artinya : Suling Lawongo. Lawongo  asalnya dari dari keturunan pemukiman tadi, yaitu berasal dari keturunan Raja Gumansa Pulau Kabaruan yang sesunguhnya berasal dari Datuj II ialah : Awecung dengan istrinya Matambulaen, mendapat anak Maradia Pontoh, Pamelotan  dan perempuan : Sangalan Dengngu. Maradia Pontoh kawin dengan seorang putri Raja Lokombanua dari Siau yang bernama Wasi Lawewe mendapat anak Unsong. Unsong kawin dengan putri Sangiang Gepe, mendapat anak Raja Sumallea, Raja Sumallea kawin dengan Haragen mendapat anak 6 orang Raja di Pulau Kabaruan bernama :
1.    Raja Gumansa     di     Damau
2.    Raja Bawanda    di    Akas
3.    Raja Sarai    di     Taduwale – Peret
4.    Raja Tainginan    di    Birang
5.    Raja Talassyangen    di     Pantuge
6.    Raja Tadirian    di Kabaruan
    Dan seorang putri bernama
7.    Sangiang Nabone
        Raja Gumansa menurunkan terus sampai pada Lawongo yang diceritakan.
        Lawongo hidup ditengah-tengah keluarga yang baik dan di didik oleh orang tuanya berkecimpung dengan orang banyak. Lawongo hanya mempunyai seorang perempuan yang bernama : Woin Semasyen. Lawongo adalah seorang pemuda yang gagah berani didalam menghadapi semua tantangan.
        Sehubungan dengan keberaniannya itu sehingga mata pencahariannya ialah berburu babi hutan dengan ditemani oleh 12 ekor anjingnya yang tangguh dengan alat : ALAIT (tombak). Pada masa remajanya Lawongo juga telah memiliki jiwa seni. Jiwa itu selalu menjadi angan-angannya tetapi beluim terlintas untuk menjadi suatu kenyataan untuk mewujudkannya. Pada suatu hari yang cerah ia duduk sambil mencoba menciptakan sebuah alat musik dengan istilah Lawongo ialah Bansi yang dibautnya dari pelepah daun pepayah dengan diberinya lubang 6 lubang, tetapi belum menghasilkan nada yang merdu, siulan burung yang didengarnya berulang-ulang dicobanya akhirnya dapat diciptakan juga, walaupun nadanya masih kurang harmonis apalagi pelepah daun pepayah itu tidak tahan lama. Lalu ia teringat sebangsa buluh yang dikatakan Nannappa, menurut bahasa daerah setempat. Buluh itu biasa dibuat atau dianyam Nyiru, Tapis-tapis dan lain-lain. Lalu ia duduk membuatnya setelah selesai lalu dicobanya di tiup ternyata nadanya merdu menurut pendengarannya, bahwa perasaannya puas bahwa ciptaannya berhasil. Pada tiap-tiap mengisi waktunya terbuang tak puas-puasnya ia meniup bansi buatannya sendiri. Orang mendengarnya sangat tertegun, sehingga yang bekerja melepaskan pekerjaannya sementara menikmati kemerduan bansinya itu., apalagi ditiupnya pada waktu malam menjelang siang yang masih gelap buta. Yang medengarnya pada hening sejenak seakan-akan terbuai dengan kenikmatan merdunya lagu tradisional daerahnya sendiri. Makin dikenal Bansinya ini oleh masyarakat Maleburen sehingga Bansinya ini dijadikan suatu instrumen yang dipakai pada tiap-tiap upacara ibadah kapir menjaga kepada dewa-dewa mereka pada saat itu.
        Dengan demikian Lawong namanya dikenal oleh masyarakat Talaud hingga sekarang ini, hanya sangat disesalkan generasi sesudahnya kurang memperhatikan sehingga tidak dapat mewariskan kepada generasi berikutnya. Sekarang ini beberapa orang tua di Pulau Kabaruan dapat menciptakan Bansi / Suli tersebut. Untuk meniupnya masih belum teratur sebab lagunya sudah kurang di ingat oleh orang tua-tua apalagi generasi muda sekarang, sebab lagunya adalah lagu tradisional asli.
        Cerita Bansi Lawongo ini mempunyai kaitannya yang erat dengan cerita asalnya dan terjadinya Napombalu ialah sebuah gunung laut yang terkenal sebagai gudang ikan yang letaknya terselatan dari Pulau Kabaruan dan jauhnya kurang lebih 3 ½ mil. Laut serta disebelah utaranya terbentang memotongnya adalah desa Damau, bagaikan pacarnya yang tiada dapat dipisahkan selama Napombalu  berdiri tegak dengan megahnya, apalagi desa Damau merupakan penunjang cerita ini demikian juga desa Pangeran.
        Raja Gumansa dengan siterunya yang ke- II bernama Woi Hompo. Dari siterinya ini menurunkan warga keturunannya di Nanginan yang sekarang disebut desa Pangeran, seorang gadis cantik yang sebentar menjadi tunangan Teruna Lawongo sebagai cerita lanjutan pelengkap dari pada cerita Bansi Lawongo
        Nanginan artinya Tempat bercandanya Bidadari makan angin, yang sampai sekarang masih ada pegunungan Nanginan di desa Pangeran yang sebenarnya Nanginan latar belakang sejarahnya nanti diceritakan pada sejarah desa Pangeran. Karena dua pemukiman ini ialah Maleburen dan Nanginan warganya keturunan seorang Datuk ialah Raja Gumansa maka hubungan kedua pemukiman ini sangat erat satu dengan lainnya. Selalu datang mendatangi. Pada suatu hari Lawonmgo turut serta juga dengan keluarganya mengunjungi kemanakannya di Nanginan, ia tertarik dan terpesona dengan seorang gadis Nanginan yang cantik jelita Yainsemaren namanya. Lama kelamaan terjalinlah suatu hubungan mesra cerita terpadu antara kedua insan remaja tersebut. Lawongo sudah tidak dapat membendung rindunya kepada gadis Nanginan itu, segera ia menyampaikan hasratnya itu kepada orang tuanya. Orang tuanyapun tidak mau membendung hasrat anaknya selain dari pada merestuinya. Karena pihak orang tua pun tidak punya keberatan dari halangannya. Dalam waktu yang singkat orang tua Lawongo dengan didampingi oleh beberapa orang kelurganya datang di Nanginan untuk menyampaikan hasrat anaknya meminang kepada gadis Yainsemaren. Setelah beberapa saat mengadakan pertemuan keluarga dua belah pihak. Maka pihak orang tua perempuan menyatakan tidak punya keberatan. Selaku rela menerima maksud Lawongo yang disampaikan oleh keluarganya itu, tinggal menunggu saat perkawinan keluarga menurut bahasa daerah setempat Addombihara. Waktu berjalan terus tetapi saat yang diharapkan berdasarkan keputusan orang tua dua belah pihak belum juga bersuara. Pada suatu pagi yang cerah, Lawongo sedang melamun merenungi nasibnya, entah kapan akan dilasanakan perkawinannya dengan gadis pujaannya.
        Untuk mengisi waktu kesepian itu, dengan tidak disadari ia masuk kamar mengambil Bansi kesayangannya, tiba-tiba berkumandanglah lagu kesayangan ialah lagu daerah tradisional setempat yang mengharukan orang yang mendengar, siapa saja yang mendengar bunyi Bansi itu walupun ia sedang sibut bekerja pasti ia berhenti sejenak terharu mengagumi betapa lihainya ia memainkan alat musiknya itu tanpa kata. Sesudah ia puas memainkan musiknya itu  lalu berjalan menuju pantai, sejenak ia memandang di kaki langit sebelah selatan pantai Maleburen, betapa kesal dalam hatinya, tantangan pandangannya dan bila tertiup angin selatan yang panjang tidak ada sebuah pulau pun yang akan jadi pelindung dari amukan angin dan amukan gelombang, lalu ia pergi meninggalkan pantai dengan suatu perasaan yang tidak puas. Setelah ia kembali kepemukimannyadan masalah itu sudah menambah pula renungan yang barus didalam perasaannya, menghayal pula ia apabila ini dilindungi oleh sebuah pulau pasti pantai ini aman tidak diganggu oleh gelombang bila bertiup angin selatan yang panjang. Hayalannya ini selalu datang mengganggu otaknya setiap ia dirundung kesepian.
        Pada suatu hari Lawongo pergi berburu, pagi-pagi benar fajar siang masih remang-remang, ia sudah turun dari rumah bersama 12 ekor anjingnya yang tangguh, alat penciumannya yang tajam sehingga berlompatan kesana kemari dengan langkah harapan memperoleh hasil buruannya pada saat itu. Demikian juga Lawongo dengan cermat mengawasi anjingnya dengan Alait tersandang dibahunya serta sebuah kris tersirip menghiasi pinggangnya. Demikianlah sikap anjingnya itu bekerja keras masuk hutan belukar, mendaki gunung, menuruni lembah tetapi belum seekor anjingnya menggonggong untuk memberikan tanda bahwa telah bertemu dengan boronannya.
        Waktu semakin berlalu dan perjalanan Lawongo bersama anjingnya makin jauh masuk hutan tetapi belum juga menunjukkan suatu harapan berhasil. Lawongo sudah mulai merasa kesal ditambah lagi dengan terik matahari yang membakar tubuhnya dengan haus yang mengiris lehernya dan anjingnya kelihatannya mulai surut semangatnya karena belum juga menemui lawannya, ditambah juga perutnya mulai keroncongan. Lalu Lawongo berpikir sejenak dan diambilnya keputusan baiklah ia beristirahat sejenak, dicarinya tempat yang baik untuk berteduh melepaskan lelahnya ialah ditepi sebuah sungai yang cukup besar ialah sungai Alawaga, sebuah sungai yang kira-kira 10 Km jauhnya di sebelah utara dari desa Damau sekarang. Tiba-tiba mengantuknlah ia lalu tertidurlah ia dengan pulasnya, lama benar baru ia terbangun, matahari sudah jauh condong kebarat lama ia berpikir sebab kalau ia mau pulang ke Maleburen pasti ia kemalaman di jalan. Sementara memutar otaknya terlintaslah ingatannya kepada gadis pujannya di Nanginan, karena Nanginan itu tidak jauh lagi dari tempat itu sehingga diambilnya suatu kesimpulan bahwa ia harus ke Nanginan untuk bermalam, dan besoknya sudah berburu akan pulang Maleburen. Anjingnya dipanggil untuk berjalan ke Naginan kira-kira Jam 19.00 wita baru ia tiba di rumah mertuanya. Sesudah ia beristirahat sejenak lalu pergilah ia turun ke sungai untuk mandi, sedangkan tunangannya sibuk memasak di dapur, sesudah ia kembali dari mandi segarlah tubuhnya dan nampaklah ketampanannya, tak lama kemudian keluarlah Yain Semaren dari dalam untuk menjemput Lawongo ke meja makan. Kegembiraan dua sejoli tak terkatakan makan sehidangan layaknya bagaikan suami istri, terlupakan segala kenangan pahit dimasa lalu. Sesudah keduanya makan beristirahatlah keduanya di serambi muka untuk menunggu kantuknya mengundang ke pulau kapuk untuk melepaskan lelah dimalam hening sepi karema siang hari bekerja keras, keduanya masuk kamar tidak lama kemudian tertidurlah keduanya dengan pulasnya.
        Untung tak boleh diraih, rugi tak boleh ditolak, malang menimpa kesyahduan malam pertemuan pertama untuk kedua insan yang terpadu cintanya disaat menjelang remajanya. Karena pada malam itu Lawongo dihantui oleh suatu mimpi. Mimpinya itu ia sedang bergulat dengan seekor babi hutan jantan yang besar dan sangat ganas mengamuk dengan masahnya. Dalam pergulatan itu Lawongo tidak ada kesempatan untuk melepaskan senjatanya (Alait). Kadang-kadang terpukul mundur dan terhuyung-huyung dibuatnya, kalau terlengah sedikit pasti mengalami kekalahan total. Tiba-tiba binatang itu mengambil langkah mundur untuk ancang-ancang serangan hebat, yang sudah diperhitungkan oleh Lawongo karena ia sudah merasakan kondisi pisiknya sudah agak berangsur surut. Dengan kesempatam itu tidak dibuangnya percuma secepat kilat melayanglah Alait (tombaknya) dilontakan kearah binatang itu tapi tidak mengenai sasarannya mengakibatkan makin ganaslah binatang itu. Menyerang dengan membabi buta sehingga sekali waktu ia hilang keseimbangannya, kakinya terpeleset sehingga ia jatuh. Sebelum ia dapat berdiri, binatang secepat angin menyerang Lawongo dan Lawongo dapat menolaknya, firastnya timbul Alait sudah berpindah dan berada di daerah binatang , binatang itu berdiri mengamuk teringatlah ia kepada kerisnya yang masih tersisip dipinggangnya, hanya kerisnya itulah menyatu satu-satunya untuk menetukan kalah menangnya pertarungan maut yang dahsyat itu. Asal dengan perhitungan tepat pada sasaran dengan sekali tercantum akan berakhirlah pertarungan itu.
        Awan hitam menutupi bumi pemukiman Nanginan, malam juga gelap gulita hitam pakat, disana sini kilat sambar menyambar diikuti dengan bunyi halilintar membelah bumi memecah anak telinga seakan-akan bumi dengan turunnya hujan yang lebat bagai dicurahkan dari langit, layaknya menyembahkan seluruh warga Naginan hanyut dalam tidurnya karena dinginnya angin malam. Dan menurut pendapat mereka pada saat itu,  apabila ada hal-hal yang sangat berlebihan semacam itu, ada sesuatu peristiwa yang terjadi dilingkungan dan keluarga Raja atau sedikit-dikitnya dilingkungan keluarga bangsawan-bangsawan dan hal ini tidak meleset menurut tradisi.
        Bertepatam dengan tangan Yaen Semaren, menyentuh tangan Lawongo untuk membangunkan Lawongo, bertepatan pula dengan mimpi Lawongo menancapkan dan menghujamkan kris itu ketubuh binatang itu, tetapi bukan tubuh babi raksasas itu melainkan tubuh gadis pujaannya sendiri Yaen Semaren, dengan tidak dapat berkutik sepatah katapun selaintubuh itu lemah lunglai berlumur darah tergeletak di lantai, Lawongo belum sadar dari mimpinya, korbannya dibiarkan saja, kerisnya dicabut dari tubuh gadis itu, dimasukkan kedalam sarungnya lalu melangkah kesudut kamar untuk mengambil tombaknya serta memanggil anjingnya untuk berburu, setela ia sudah berjalan sadarlah ia dari tidurnya. Setelah hari sudah siang orang tua gaadis itu memperhatikan kamar anaknya masih dalam keadaan tertutup rapat pintunya. Lama ditunggu sehingga matahari sudah tinggi dan pintu kamar anaknya berlum terbuka, entah apa yang terjadi sedangkan ia tahu terutama Lawongo juga bersama-sama tidur dalam kamar itu. Lama-lama ditunggunya sehingga ia tidak dapat menahan kesabarannya ingin cepat mengetahui keadaan anaknya. Didekatinya pintu lalu diketuk tapi tidak ada jawaban, ketuk kedua, ketiga, keempat dan seterusnya semua sia-sia membisu. Untuk mempercepat kebenaran dan kecemasannya itu ditendangnya pintu sehingga pecah. Matanya mengintip dari pecahan tapi tidak sempat melihat suatu apa. Didobraknya terus pintu itu, lalu ia masuk mengamati sebab mungkin keduanya sudah lari ke Maleburen tiada setahu orang tuanya. Setelah diselidiki kamar itu dengan telitih kelihatan sesosol tubuh tergeletak dilantai dengan tidak bernyawa lagi dan sudah terkapar kaku dengan bekas tusukan sebuah kris didadanya.
        Setelah diamatinya tubuh anaknya sendiri ia menjerit dan menangius sejadi-jadinya dan berdatanglah para tetangga serta warga masyarakat Nanginan untuk berkabung. Kepala keluarga Nanginan sudah hadir pula lalu diadakan proses untuk pengambilan datanya mengenai kematian gadis itu. Dan tiap-tiap pendapat dikeluarkan tetapi kesimpulannya yang ditarik oleh banyak orang bahwa perbuatan yang biadab dan beji ini adalah perbuatan Lawongo semalam dirumah gadisnya itu dan sekarang orang tersebut telah melarikan diri.
        Lalu semua laki-laki menyandang kapak dan pedang masuk hutan untuk mencari kayu mentah untuk dijadikan Bahungga dalam bahasa setempat yang artinya : Peti Mayat. Berita kematian Yaen Semaren ini sudah sampai juga di desa Maleburen sehingga banyak juga berdatangan famili dari Maleburen untuk berkabung. Lawongo dalam perburuannya sehari itu sama sajalah halnya dengan yang kemarin jangankan seekor babi hutan, seekor anak biawakpuntidak, tambahan pula anjingnya lebih malas dari yang kemarin. Makin lama ia berburu, makin jauh perjalanannya tetapi tetap tidak dapat memberikan harapan dalam usahanya. Setelah tengah ia sudah merasa lelah, lapar dan dahaga terbitlah hasratnya untuk beristirahat. Ia beristirahat pada tepi sungai yang dinaungi oleh banyak pohon besar yang cabang-cabangnya bagaikan tangan reksasa yang kuat terentang sepanjang masa, sehingga menyejukkan setiap mahkluk yang bernaung dimusim panas. Dalam perasaan halusnya bahwa ia merasa mahkluk yang terkecil bila dibandingkan dengan alam dan bumi tempat ia berpijak, karena dibuai sejuknya alam tidak lama kemudian tertidur pulalah ia dengan pulasnya bersama 12 ekor anjingnya.  Hari sudah sore benar baru ia terbangun dan ia berpikir pasti ia akan bermalam lagi di Nanginan bersama dengan gadis kesayangannya pula. Maka dengan perasaan risau dan dengan langkah berat menuju pulang sebab dijemput oleh tubangannya dengan tangan hampa, sedangkan ia sudah kenal oleh masyarakat Maleburen dan Nanginan sebagai pemburu ulung yang belum pernah pulang dengan tangan hampa.
        Sementara ia menuju pulang sayup-sayup dari jauh kedengarannya bunyi kapak bersahut-sahutan makin jauh perjalanannya makin dekat dengan bunyi itu dan makin jelas bahwa bunyi kapak itu terdiri dari banyak orang. Setelah didekatinya diperhatikan pekerjaan orang banyak itu ternyata mereka sedang membuat sebuah Bahungga. Dengan tidak ragu-ragu didekatinya lalu ia bertanya entah siapa yang telah meninggal dunia sehingga mereka membuat Bahungga, mereka menjawab : “Apakah saudara belum mengetahui bahwa tunangannya Yaen Semaren telah meninggal dunia tadi malam akibat tusukan sebuah kris di dadanya?”. Urat nadinya seakan-akan kena pukulan yang amat kuat dan dahsyat, jantungnya bagaikan diiris dengan sembilu, ia menangis terisak-isak lalu ia berkata kepada orang banyak itu hentikan pembuatan peti jenasah itu sebab terlalu kecil uatkan yang baru yang dapat ditempati dua orang didalamnya sebab tak ada gunanya saya mau hidup lagi tanpa Yaen Semaren disampingku.
        Orang banyak itu menghentikan pekerjaannya mulai mereka menebang batang pohon kayu yang lebih besar lalu dibuatnya bersama-sama karena hari sudah sore benar. Lawongo berjalan dengan langkah yang tidak teratur, sedangkan hatinya dilanda dengan kesedihan yang tak tertakatakan, dan ia merenungi mimpinya yang buruk itu. Dicabut krisnya dari sarungnya lalu diperhatikannya ternyata banyak darah yang melekat yang sudah membeku inilah yang meyakinkan kebenaran mimpinya itu. Setelah ia sudah sampai dirumah sangat banyak orang yang mengelilingi mayat tunangannya baik dari Nanginan maupun dari Maleburen diantaranya adiknya sendiri Woin Semasyen ada juga disitu. Ia menangis amat sedih lalu ia memamnggil adiknya Woin Semasyen untuk menyampaikan pesannya yang terakhir karena ia tidak ingin hidup sedangkan sudah kehilangan jantung hatinya gadis pujaannya.

        Tak lama kemudian muncullah orang-orang dari hutan menyusung peti mayat. Lawongo berpesan kepada adiknya sebagai berikut : Sekarang bagiku tak layak lagi hidup tanpa Yaen Semaren disampingku karena kematiannya itu atas perbuatanku sendiri maka saya juga ingin mati bersamanya. Mati sekubur bersusun bangkai. Dan  sekarang saya tidak ada waktu lagi untuk banyak berkata-kata dengan engkau adikku karena peti mayat sudah ada diusung orang dari hutan. Berarti waktu sudah dsampai dan sudah waktunya aku akan masuk bersama-sama dalam peti mayat (Bahungga) itu diliang lahat bersama-sama dengan kekasihku yang sangat dicintai buah hatiku dan pesanku demikian ini :
1.    Peti mayat kami harus dimakamkan ditempat asalku ialah Maleburen
2.    Sepanjang engkau berziarah dipusaraku selalu kutandai dengan nada sulingku tandanya kami masih hidup
3.    Dan bila Bansi tak terdengar lagi tandanya saya telah meninggal dunia tetapi ingat akan terhadi sesuatu yang mengherankan ialah akan terjadi disebelah selatan jauh sama sekali kamu sekali jangan kaget dan sekali-kali kamu jangan tunjuk dengan tangan kamu sendiri biarkan sampai ia menjadi sesuatu yang baru sebagaimana yang kamu lihat dan alami.
        Pesan ini sangat diingat dan dirahasiakan oleh Woin Semasyen dan karena ia sangat mengasihi  kakaknya  Lawongo sehingga ia tidak beringsut dari pusara kakaknya. Woin Semasyen telah bermimpi apabila dapat melihat benda putih sampai sejauh mata memandang jangan sekali-kali kau tunjukkan dengan jari telunjuk pada tangan kananmu, bila kau tunjuk maka benda putih tidak akan tumbuh-tumbuhan sehingga telah terbukti pada tahun 534 waktu bangsa Eropa menjual rempah-rempah ke Indonesia dan dibawah arus gelombang ke pulau Damau maka terdengarlah kapal dagang Eropa itu di pulau karang Napombaru. Akan tetapi melalui berkat Tuhan akapal cepat bertolak sehingga kapal dan awak kapal selamat dari topan dan gelombang Napombalu disebelah barat pelabuhannya sangat memungkinkan, tetapi disebelah Tenggara keluar air tawar dan disebelah selatan airnya sangat busuk. Bangsa Eropa datang ke pulau Damau sebagai petunjuk jalan mendarat di Damau dengan membawa misi agama katholik seperti :
1.    Santu Fransiscus Xaverius  dari Portugis
2.    Santu Mariono dari Belanda
3.    Santu Vlantein dari Spanyol
        Kemudian di Filipina, Jepang dan terakhir ditiongkok disanalah Fansiscus Xaverius menghembuskan napas terakhir dengan usia 46 Tahun. Lahir 1506 dan meninggal dunia tahun 1552. Santu Mariono dan Santu Vlentein di semayamkan di dalam Gua Arandangan bersama dengan bangsawan-bangsawan yang datang di desa Damau.
        Woin Semasyen selalu dilanda oleh duka nestapa yang sangat mengharukan apa dikata semua telah terjadi nasi telah menjadi bubur. Jenasah Yaen Semaren dimasukkan didalam peti jenasah untuk dimakamkan langsung dipaku papan tutup peti jenasah. Secepat kilat dengan tidak dilhat oleh seorangpun maka Lawongo masuk kedalam peti jenasah itu bersama dengan Bansi kesayangannya.
        Setelah jenasah diberangkatkan Woin Semasyen menyampaikan pesanan  Lawongo yaitu ia bersama tunangannya harus dimakamkan di Maleburen, maka peti jenasah itu diusung orang untuk dikebumikan di Maleburen. Berangkatlah iringan peti jenasah itu denganh penuh kesedihan selesai pemakaman orangpun bubar dan kembali kepemukimannya masing-masing. Tetapi Woin Semasyen tinggal ditempat itu karena sedihnya walaupun oleh orang tuanya dibujuk agar ia harus melupakan semuanya itu. Siang dan malam ia tidak mau bergesar dari pusara kakaknya dan karena selalu dirundung kesedihan bila seekor lalat hinggap dibadannya ia menangis dan bila ia sudah lapar benar baru ia kerumah untuk makan, apalagi kubur itu terletak tidak jauh dari rumahnya dan palung itu tidak hentinya dikumandangkan oleh Lawongo dari dalam peti jenasah.
        Sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya dan pada hari yang keenam mulailah suling itu terputus-putus akhirnya dimalam harinya sudah sayup-sayup dan pada hari yang ketujuh suling itu sudah tidak terdengar sama sekali, berarti Lawongo sudah meninggal bersama-sama tunangannya. Woin Semasyen menangis menjadi-jadi dan tidak dapat dihibur oleh siapapun juga. Sedang ia menangis terliriklah matanya keselatan dikaki langit tersember air laut berbuih-buih seakan-akan terjadi keajaiban. Woin Semasyen hilaf akan pesan kakaknya denga tidak disadari tangannya terangkat jarinya menunjuk kearah keajaiban itu maksudnya memberitahukan kepada orang tuanya dan juga kepada banyak perempuan yang sementara mencuci di muara sungai Maleburen dengan tiba-tiba keajaiban itu terhenti dan diam baru Woin Semasyen menyadari oesan kakaknya itu. Sekiranya tidak ditunjuk mungkin akan jadi sebuah pulau seperti yang direnung oleh Lawongo sewaktu ia berdiri dipantai sebelum ia mengalami musibah. Maka Woin Semasyen menyampaikan hal itu kepada orang tuanya memerintahkan beberapa orang laki-laki yang berani dilaut untuk menyelidiki tempat terjadinya hal itu dengan beberapa buah Beninta (Perahu) lengkap dengan perbekalan dan air yang cukup karena perjalanan itu belum diketahui pasti jauhnya.
        Suatu pagi yang cerah bertolaklah beberapa buah Beninta menuju laut lepas dikaki langit sebelah selatan dari Maleburen, berlayar menurut angin utara yang sepoi-sepoi serelah 3 jam berlayar nampak dari jauh segumpal daratan dengan pasirnya yang putih tetapi disitu mereka kembali menolak Beninta mereka untuk segera kembali ke Maleburen, dan tempat itu mereka namakan : NAPOMBALU yang artinya ialah “Suatu tempat yang terjadi oleh suatu perubahan tiba”. Tempat itu terletak disebelah selatan dari Kampung Damau sekarang ini jauhnya 3 ½ mil dari Damau.
        Sebagai ciri khas dari cerita ini ialah siapa saja mau ke Napombalu harus menjaga keras pantangannya seperti tidak boleh sementara berjalan menunjuk sesuatu ditengan laut dan bila didaratan Napombalu tidak boleh menggaruk-garuk pasir atau melempar barang dan membawah barang itu hidup-hidup untuk dijadikan permainan, demikian juga kerikil dan pasir hal ini kalau dilanggar akan terjadi hal-hal yang mendatangkan bencana, akan terjadi ombak yang besar, arus yang kuat, sehingga pulang kekampung mengalami perjalanan yang sulit kalu bukan hanyut atau tenggelam. Dan sampai sekarang ini di Pulau Kabaruan masih ada peribahasa seperti air mata Wois Semasyen yang artinya dengan sedikit saja tertanggung sudah ia menangis.

1 komentar:

  1. Soccer | 1xbet korean - legalbet.co.kr
    Soccer | 1xbet korean - legalbet.co.kr The most exciting sport to play online in Malaysia is soccer, and soccer is as 1xbet apk popular and loved as it gets in

    BalasHapus