Mini Rage Face Happy Smiley

SELAMAT DATANG DI BLOG HIMPUNAN KEKELUARGAAN MALEBUREN DAMAU TALAUD | JANGAN LUPA MENDAFTAR BAGI YANG MERASA MASYARAKAT DAMAU | BAGI YANG SUDA MENDAFTAR SILAKAN CEK KEMBALI AKUN ANDA KARENA FORM PENDAFTARAN BARU DI PERBAHARUI OLEH PIHAK ADMIN | Info : Bagi Anggota Yang Berkeinginan Memposting Artikel Di Blog Ini Pada Saat Mendaftar Masukan Alamat Email Yang Sedang Anda Gunakan Atau Email Yang Valid. Catatan : Cukup Alamat Email Saja | Copprying 2015 Editor By J.M Contack Admin Phone:082348330738 Pin BBM:57389FF7

Jumat, 04 Desember 2015

URUTAN UPACARA ADAT DAN TANDA-TANDA ALAM YANG TETAP DILESTARIKAN DI DESA DAMAU DAN DESA DAMAU BOWONE KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD PROVINSI SULUT

I. PERKAWINAN ADAT      
A.      Manginna
         Pertemuan kedua orang tua belahpihak untuk menyelidiki hati anak.

B.     Mandanganna ( Maso minta)
         Pertemuan keluarga dalam menentukan kapan pesta kawin dan menurut adat dan agama.
C.    Mamabbidu tuwo, manattau Aruh’ha.    (memusyawarakan waktu yang tepat untuk       melaksanakan upacara perkawinan)

 D.    Bahha’u Wihara, BA’E
        (Kawin Keluarga, mempertemukan kedua keturunan dan mencari nenek moyang mana yang akan dijadikan panutan bagi kedua pengantin).

II.    K E L A H I R A N      
A.     Mang’ngati
         ( Memohon kepada Tuhan agar janin yang ada dalam kandungan dan ibu yang sedang hamil selalu dalam lindungan Tuhan sampai saat melahirkan) Upacara ini di laksanakan terlebih bagi kedua calon yang tidak mendapat restu dari orang tua.

B.    Bawalli Gatti  (Pembeli wajah)
Dalam pertumbuhan anak semakin besar wajah sama dengan wajah kedua orang tua kandung  diharuskan menanam pohon kelapa, pala atau cengki atau pohon apa saja.

III.     S A K I T       
A.     Mamalunggu ana’a (menyerahkan anak) 
        Upacara adat ini dilaksanakan apabilah Penyakit yang diderita si anak tidak pernah sembuh dan diserahkan kepada saudaranya untuk menerima anak tersebut dan memohon kepada Tuhan kiranya memberikan tanda dan mujizatnya untuk kesembuhan anak.

B.     Mamia Tissyubba, Manaramattu warintango.
(Upacara ini dilaksanakan atas kemauan seseorang yang menderita sakit dan sewaktu hidup sering menyakiti hati orang lain, dan seraya memohon ampun kepada sesama manusia amat terlebih kepada Tuhan agar ia boleh sembuh, dan kalau tidak sembuh diyakini seseorang  meninggal dalam keadaan selamat).

IV. PEMBANGUNAN RUMAH           
Sebelum di adakan upacara adat pembangunan rumah harus melihat bulan langit dan  bulan kalender,  bulan dilangit yang dilarang untuk kegiatan pembangunan rumah yaitu :
Bulan  pertama          : Alatto
Bulan ke empat          : Syarah’ha
Bulan ke tujuh             : Atah’ha
Bulan  ke empat belas: Ara’alanna
Bulan ke lima belas    : Otone
Bulan  Purnama          : Rumaria.
Bulan Mei tidak baik untuk pembangunan rumah.
Addombatu : Peletakan batu dasar memohon kepada Tuhan agar dari awal pelaksanaan pekerjaan sampai selesai baik tukang maupun pemilik selalu dalam perlindungan  yang maha kuasa, dan kiranya selalu mencukupkan rezeki keluarga.
Mangampa Dapusyanna ( penyerahan kunci)
Bersyukur karena Tuhan sudah mengabulkan permohonan keluarga.

V. PEMBUATAN PERAHU KAPAL KAPASITAS 10 GT

    A.    Mangandangngu Taghuwala : Meletakkan lunas diatas tiang untuk menyatakan bahwa pekerjaan akan segera dimulai seraya memohon penyertaan dari Tuhan dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut namun upacara ini di satukan dengan upacara mamilah’ha syangkatta.
    B.     Mamilah’ha syangkatta : melepaskan perahu dari tiangnya untuk segera digunakan dan sambil memohon kepada Tuhan agar menjalankan aktivitasnya dan kiranya Tuhan menjauhkan dari marabahaya, kecelakaan amat terlebih maut, kiranya Tuhan melimpahkan berkatnya dalam menjalankan usahanya.

VI.     P E R T A N I A N   
  
Sebelum melakukan upacara pertanian masyarakat yang ada didesa masih mengenal bulan pertanian ( bulan kalender) yang sering dilaksanakan  setiap bulan :
I’Yamba : bulan Januari, Februari, Maret dan april
Matitim : bulan September, oktober, November dan desember.
    A.     Lintuccu gharele ( Turun Pedang )
Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap pada tanggal 31 januari tahun berjalan  dan upacara ini dilaksanakan untuk memohon kepada Tuhan agar dalam pembukaan lahan pertanian mendapatkan berkat dan penyertaan Tuhan menjadi bagian dari warga masyarakat dan pedang yang digunakan hanya memotong rumput, pohon dan apabilah menyentuh dalam tubuh jangan sampai mencederai pemegangnya.
    B.    Lintuccu Bualan’na ( Turun Bibit )
Kegiatan dilaksanakan setiap tanggal 31 Januari tahun berjalan, dan memohon agar Tuhan memberkati bibit yang akan di tanam dan dijauhkan dari serangan hama.
Malintuccu diri ( Menurunkan diri )
Sering dilaksanakan setiap tanggal 31 Januari tahun berjalan, dengan memohon kepada Tuhan agar dalam memulai aktivitasnya (pekerjaan), baik sebagai PNS, TNI, Polri,Petani dan nelayan serta bagi mereka yang sedang mencari lapangan kerja, siswa, mahasiswa dan anak-anak selalu dalam perlindungan Tuhan.
Manimbulla hahuan’na (bakar rumput )
Upacara ini sering dilaksanakan setiap bulan Juli tahun berjalan, memohon berkat dari Tuhan agar tanaman bertumbuh subur dan tidak diganggu oleh berbagai hama dan penyakit.
Hawacca (Ucapan syukur)
Upacara ini sering dilaksanakan pada bulan maret sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala berkat dan Rahmatnya serta perlindungannya warga masyarakat berhasil dalam segala aktifitasnya.

VII. KUNCI TAHUN            
Upacara ini sering dilaksanakan setiap tanggal 31 Januari tahun berjalan
Manduru’u Ton’na :
Melepas Tahun yang lama dan menerima tahun yang baru, sambil bermohon kiranya seluruh warga dalam menjalankan aktifitasnya setiap hari selalu diberkati dan dilindungi oleh Tuhan, dan segala rencana program yang sudah kita canangkan ditahun yang lalu belum dicapai dan ditahun yang baru kita capai program yang dicanangkan.

VIII. HAHAROGHO RAGHO             :
(Penerimaan Tamu secara adat ) selama tamu berada di desa damau  selalu dilindungi dan diberkati oleh Tuhan.
IX. PAPALLO’HU RAGHO ( Tamu dilepas secara adat ) :   
Tamu yang berada di desa sejak meninggalkan desa di doakan dalam perjalanan ke tempat tujuan selalu dituntun oleh Tuhan dan dilindungi dalam perjalanan  tiba dengan selamat.
X.`UPACARA PEMAKAMAN           
    A.    Bihara Tatondo ( pelepasan orang meninggal dunia) memohon pernyertaan Tuhan bagi keluarga yang di tinggalkan agar selalu rukun dan damai.
    B.      Mamilah’ha paporong ampirua, malintuttu tatindung ataturangnga.(Penurunan kain kabung)
Bersyukur atas penyertaan dan perlindungan dari Tuhan.
    C    Mahsyahatta pusenggetta ( bermohon kepada Tuhan agar yang sudah meninggal tidak berhubungan lagi dengan orang yang masih hidup).

XI.  UPACARA PENGUKUHAN ( Pelantikan )
Masyam’maa, Manobatta, Mazohha. (memberikan kekuatan)
Upacara ini dilaksanakan apabilah ada pelantikan seseorang yang terpilih sebagai pemimpin, agar dalam pelaksanaan Tugas Roh kudus selalu menyertai dan Tuhan selalu melimpahkan berkat, rezeki dan memberikan kearifan serta kebijaksanaan dalam memimpin.

XII. TANDA-TANDA ALAM
I’ YAMBA UMU’U ( Bintang biduk di atas langit)
Bintang biduk  ketika berada di waktu siang disertai Guntur, bila terbit diufuk Barat menandakan akan banyak orang yang meninggal dunia, bila muncul diufuk Timur akan kelimpahan Ikan dilaut. 

B    Sungai disaat banjir mengalir kearah desa Damau maka desa tersebut akan kelimpahan makanan dan sungai kearah desa damau bowone makanan berlimpah, apabilah ditengah-tengah kedua desa akan berkelimpahan makanan.
 
C.     hujan berlebihan disertai angin dan gelombang menandakan ada perbuatan yang tidak pantas untuk dilakukan oleh seseorang; misalnya – Membuang anak (bayi)
                               1). Membunuh
                               2). Menjalin hubungan dengan Orangtua

    D.    Nyamuk berlebihan menandakan ada warga desa yang melakukan hubungan gelap.
    E.     Ayam berkokok pada jam 22.00 wita malam menandakan ada wanita muda yang hamil diluar nikah.
    F.    Terjadi keributan hewan-hewan dalam desa jam 18.-20.00 wita akan terjadi kejahatan atau merencanakan kejahatan antar desa saling serang.










I AMI BUA SU RAMAU
Lagu : di pantai annemawira

    I AMI BUA SURAMAU
    I NAWA MANGINNAPO
    OREE, SU NAPOMBARU
    MADEA SU SINANGO
Reff:    PUNDARE-PUNDARE O PA APIA
    PA ATORE- PA ATORE PETONGGAWE
    TADUSEE SANG KAPIA
    MA BARI SU WANUA
============================================================================
BUA DALA SARU ATTINA

    PAMELO DALA SARU ATTINA
    SARU BAHEWA ANDARETANANNA
    SARU TUTUHE PASASEWANNA
    LIU PAPPIRI TINUARANNA
    ROSO BATU MAWIRA
    LIUNGGEHE PANDARENOANNA






TAGHALOANG TONDOI LANA




TAGHALOANG TONDOI LANA
PAMMAREANNI SAMBORE
MADUMATINGNGI RUA ELLO
PANGUWUSAN SUSANAUNG

REFF;
MIALLO-MIALLO RABBI NANAUNGANNA
MARABI AIPIANNA
PAGHUDE SASSONDAPE SUMATA

Kamis, 03 Desember 2015

Acara Pemilihan Pengurus Rukun ( Ketu, Wakil Ketua, Bendahara, Dan Sekertaris Per 2015-2016 )

Lokasi : Perum Maesa Unima Blok A. No 113











Music Natal 2015




SEJARAH SINGKAT GUA ARANDANGANNA DI DAMAU KECAMATAN DAMAU

LETAKNYA    :
            GUA ARANDANGANNA TERLETAK DISEBELAH TIMUR DESA DAMAU DAN KIRA-KIRA 20 M DARI TEMPAT ITU ADALAH TEPI PANTAI

KEADAANNYA    :
            GUA TERSEBUT BERADA DI DESA DAMAU, KECAMATAN DAMAU, KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD, PROPINSI SULAWESI UTARA
   
            GUA ARANDANGANNA DENGAN BENTUKNYA :
            a.    Panjangnya    :    12 M
            b.    Lebar    :    3 M
            c.    Dalam/Tinggi    :    1 ½ M


    Di dalam Gua Arandanganna terdapat bermacam-macam tengkorak manusia yang sudah berabad-abad lamanya dan berbeda-beda bentuknya. Ada yang bulat panjang, sedang ada pula yang bulat pendek.
    Pada Tahun 1965, sekitar Gua Arandanganna masih berupa hutan rimbah sampai-sampai buluh roman bisa merinding kalau pergi ke Gua Aranndanganna seorang diri. Sayang kemegahan alam disekitar Gua Arandanganna sudah hilang, akibat pohon-pohon besar ditebang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mau memikirkan kepentingan dirinya.
    Betapa ngerinya bagi siapa saja apabila masuk pintu Gua, sebab tampak tengkorak manusia dan peti jenasah yang sudah lapuk berjejer bagaikan barisan ikan lumba-lumba. Peti jenasah terbuat dari kayu kambing dan diberi gembok pada penutupnya, dengan menggunakan hengsel kuningan dan tembaga.
    Dulu lantai Gua tampak bersih tidak ada segumpal tanah pun didalamnya, kecuali daun kering yang rontok akibat terpaan angin, ditambah lantai Gua terdiri dari batu karang yang putih kelabu warnanya.
    Dahulu dalam/tinggi Gua yang sebenarnya 3 M, mengapa sekarang ringgal 1 ½ M. Penduduk desa Damau kian hari kian bertambah, maka tentu memerlukan tanah untuk diolah dan ditanami. Penduduk mulai merusak hutan lalu diolah sedikit demi sedikit, tanpa disadari bahwa hutan disekitar Gua kalau dirusak akan mengancam kelestarian Gua dan sesepuh Adat tidak mengetahuinya.

HISTORINYA  :
   

    Gua ini menurut sejarah dan informasi yang diberikan oleh beberapa orang tua di Desa Damau, bahwa Gua tersebut adalah benar-benar Kubur dari Keluarga Bangsawan, atau orang-orang yang sederajat dengan bangsawan bukan penduduk asli pulau Damau.
    Pada waktu itu yang memerintah dikampung Damau adalah seorang Raja yang bernama Raja Papussya. Dan beliaulah yang menentukan kubur tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan diatas.dan beliaulah dianggap oleh penduduk Pulau Damau sebagai Raja yang besar kekuasaannya. Dan beliaulah yang mengeluarkan perintah bahwa setiap orang yang meninggal dunia, kecuali keluarga bangsawan dan orang asing yang bukan penduduk asli Pulau Damau, harus dikuburkan di dalam tanah.
    Sejarah Gua Arandanganna ini mempunyai hubungan dan kaitan yang erat dengan datangnya Agama Nasrani Roma Katholik di Pulau Damau. Perlu diketahui bahwa dahulu Pulau Kabaruan dikatakan Pulau Damau karena saat itu Damau sudah mempunyai hubungan dagang dengan Ternate. Perdagangan waktu itu sifatnya atau sistim tukar menukar karena Damau belum mengenal mata uang.
    Ternyata mereka adalah orang-orang Eropa yang ingin puas dengan hasil rempah-rempah di Indonesia. Orang ternate sebagai penunjuk jalan khususnya di Maluku (Ternate), namun mereka juga berhasrat mau menguasai seluruh Kepulauan yang berdekatan dengan Ternate termasuk Pulau Kabaruan sekarang. Tibalah mereka di Damau pada bulan Oktober 1534, dan ternyata bukan hanya kaum pedagang tetapi ikut serta penyebar agama Roma Katholik.
    Mereka mendarat di Damau dan bertemu dengan seorang penduduk yang disuruh oleh Raja Papussya untuk menayakan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Mereka bertanya kepada pesuruh Raja itu apa nama desa yang mereka datangi, langsung pesuruh itu menjawab “DAMAU”.
    Anehnya mereka menanyakan Pulau apa dan desa apa namun pesuruh raja tidak mengerti karena mereka bertanya dalam bahasa Spanyol.

Cerita Rakyat Damau Kecamatan Damau Kab. Kepulauan Talaud Prov. SULUT

CERITA BANSI LAWONGO DAN NAPOMBALU

Pada zaman dahulu kala telah ada beberapa pemukiman yang didirikan oleh manusia. Walaupun jumlahnya belum dinyatakan dengan pasti umumnya manusia pada saat itu masih primitif, sehingga masih tinggal di gua-gua, batu yang besar dibawah pohon besar yang ridang sehingga tempat perlindungan diri dari panas matahari yang teriuk, huja, demikian juga menghindarkan diri dari serangan binatang buas yang dapat mengancam keselamatan mereka. Hidup manusia primitif hidup secara berkelompok di kepalai oleh seorang kepala keluarga untuk mengatur kesejahteraan dan ketertiban kemasyarakatan dalam kelompok itu.
    Pertanian seperti ladang dan tegelan dikerjakan secara gotong royong dan hasilnya dipakai bersama sebagai penghidupan bersama dalam kelompok itu. Kepercayaan mereka ialah : Animisme yang artinya : menyembah berhala, seperti memuja orang mati yang dianggap sakti, gua-gua dan pohon-pohon yang besar yang dianggap berjimat, serta binatang-binatang yang sakti seperti : Ular Naga, Buaya, Hiu dan binatang-binatang yang lain yang mempunyai keanehan. Dengan kepercayaan ini sehingga mereka menghornatinya dan pada tiap bulan purnama mereka mepersembahkan korban untuk dewa-dewa tersebut, agar dewa-dewa itu tidak marah kepada mereka. Diadakan tolak bola yang diatur oleh kepala keluarga mereka agar jangan ditimpah bencana dan malapetaka. Misalnya : di timpah wabah penyakit, bila kelaparan, musim kemarau yang panjang dan sebagainya. Mereka sangat menghormati kepala keluarga itu dan menurut semua petunjuknya, sebab ia dianggap sebagai pimpinan mereka. Pimpinan keluarga itu tidak bekerja diladang ia hanya dirumah untuk memikirkan kesejahteraan kemakmuran warga keluarganya. Untuk menjaga kemakmuran warganya dijaga ketat melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti berbuat cabul, membunuh, mencuri, menipu hal-hal yang bertentangan dengan adat istiadat yang sudah disampaikan oleh kepala keluarga kepada anggota keluarga yang sering atau sengaja melanggar ketentuan ini diberikan ganjaran sesuai hukum adat yang berlaku yang ditimpahkan oleh kepala keluarga.
    Sangsi pelanggaran hanya dua : Berat dan Ringan. Yang berbuat cabul ditenggelamkan hidup-hidup di dasar laut, pembunuh dengan doti orang itu dikuburkan hidup-hidup dalam tanah, yang mencuri dan menipu serta lain-lain diberikan sangsi mengadakan plakat sepanjang pemukiman, sesudah itu membuat pesta adat memberi makan seluruh warga keluarga untuk memintakan maaf kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak berbuat lagi mengulangi perbuatan ini. Dengan demikian maka seluruh warga keluarga itu menjamin hukum adat itu demi terjaminnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat.






“ASLINYA BANSI LAWONGO DAN NAPOMBALU”


    Bansin Lawongo artinya : Suling Lawongo. Lawongo  asalnya dari dari keturunan pemukiman tadi, yaitu berasal dari keturunan Raja Gumansa Pulau Kabaruan yang sesunguhnya berasal dari Datuj II ialah : Awecung dengan istrinya Matambulaen, mendapat anak Maradia Pontoh, Pamelotan  dan perempuan : Sangalan Dengngu. Maradia Pontoh kawin dengan seorang putri Raja Lokombanua dari Siau yang bernama Wasi Lawewe mendapat anak Unsong. Unsong kawin dengan putri Sangiang Gepe, mendapat anak Raja Sumallea, Raja Sumallea kawin dengan Haragen mendapat anak 6 orang Raja di Pulau Kabaruan bernama :
1.    Raja Gumansa     di     Damau
2.    Raja Bawanda    di    Akas
3.    Raja Sarai    di     Taduwale – Peret
4.    Raja Tainginan    di    Birang
5.    Raja Talassyangen    di     Pantuge
6.    Raja Tadirian    di Kabaruan
    Dan seorang putri bernama
7.    Sangiang Nabone
        Raja Gumansa menurunkan terus sampai pada Lawongo yang diceritakan.
        Lawongo hidup ditengah-tengah keluarga yang baik dan di didik oleh orang tuanya berkecimpung dengan orang banyak. Lawongo hanya mempunyai seorang perempuan yang bernama : Woin Semasyen. Lawongo adalah seorang pemuda yang gagah berani didalam menghadapi semua tantangan.
        Sehubungan dengan keberaniannya itu sehingga mata pencahariannya ialah berburu babi hutan dengan ditemani oleh 12 ekor anjingnya yang tangguh dengan alat : ALAIT (tombak). Pada masa remajanya Lawongo juga telah memiliki jiwa seni. Jiwa itu selalu menjadi angan-angannya tetapi beluim terlintas untuk menjadi suatu kenyataan untuk mewujudkannya. Pada suatu hari yang cerah ia duduk sambil mencoba menciptakan sebuah alat musik dengan istilah Lawongo ialah Bansi yang dibautnya dari pelepah daun pepayah dengan diberinya lubang 6 lubang, tetapi belum menghasilkan nada yang merdu, siulan burung yang didengarnya berulang-ulang dicobanya akhirnya dapat diciptakan juga, walaupun nadanya masih kurang harmonis apalagi pelepah daun pepayah itu tidak tahan lama. Lalu ia teringat sebangsa buluh yang dikatakan Nannappa, menurut bahasa daerah setempat. Buluh itu biasa dibuat atau dianyam Nyiru, Tapis-tapis dan lain-lain. Lalu ia duduk membuatnya setelah selesai lalu dicobanya di tiup ternyata nadanya merdu menurut pendengarannya, bahwa perasaannya puas bahwa ciptaannya berhasil. Pada tiap-tiap mengisi waktunya terbuang tak puas-puasnya ia meniup bansi buatannya sendiri. Orang mendengarnya sangat tertegun, sehingga yang bekerja melepaskan pekerjaannya sementara menikmati kemerduan bansinya itu., apalagi ditiupnya pada waktu malam menjelang siang yang masih gelap buta. Yang medengarnya pada hening sejenak seakan-akan terbuai dengan kenikmatan merdunya lagu tradisional daerahnya sendiri. Makin dikenal Bansinya ini oleh masyarakat Maleburen sehingga Bansinya ini dijadikan suatu instrumen yang dipakai pada tiap-tiap upacara ibadah kapir menjaga kepada dewa-dewa mereka pada saat itu.
        Dengan demikian Lawong namanya dikenal oleh masyarakat Talaud hingga sekarang ini, hanya sangat disesalkan generasi sesudahnya kurang memperhatikan sehingga tidak dapat mewariskan kepada generasi berikutnya. Sekarang ini beberapa orang tua di Pulau Kabaruan dapat menciptakan Bansi / Suli tersebut. Untuk meniupnya masih belum teratur sebab lagunya sudah kurang di ingat oleh orang tua-tua apalagi generasi muda sekarang, sebab lagunya adalah lagu tradisional asli.
        Cerita Bansi Lawongo ini mempunyai kaitannya yang erat dengan cerita asalnya dan terjadinya Napombalu ialah sebuah gunung laut yang terkenal sebagai gudang ikan yang letaknya terselatan dari Pulau Kabaruan dan jauhnya kurang lebih 3 ½ mil. Laut serta disebelah utaranya terbentang memotongnya adalah desa Damau, bagaikan pacarnya yang tiada dapat dipisahkan selama Napombalu  berdiri tegak dengan megahnya, apalagi desa Damau merupakan penunjang cerita ini demikian juga desa Pangeran.
        Raja Gumansa dengan siterunya yang ke- II bernama Woi Hompo. Dari siterinya ini menurunkan warga keturunannya di Nanginan yang sekarang disebut desa Pangeran, seorang gadis cantik yang sebentar menjadi tunangan Teruna Lawongo sebagai cerita lanjutan pelengkap dari pada cerita Bansi Lawongo
        Nanginan artinya Tempat bercandanya Bidadari makan angin, yang sampai sekarang masih ada pegunungan Nanginan di desa Pangeran yang sebenarnya Nanginan latar belakang sejarahnya nanti diceritakan pada sejarah desa Pangeran. Karena dua pemukiman ini ialah Maleburen dan Nanginan warganya keturunan seorang Datuk ialah Raja Gumansa maka hubungan kedua pemukiman ini sangat erat satu dengan lainnya. Selalu datang mendatangi. Pada suatu hari Lawonmgo turut serta juga dengan keluarganya mengunjungi kemanakannya di Nanginan, ia tertarik dan terpesona dengan seorang gadis Nanginan yang cantik jelita Yainsemaren namanya. Lama kelamaan terjalinlah suatu hubungan mesra cerita terpadu antara kedua insan remaja tersebut. Lawongo sudah tidak dapat membendung rindunya kepada gadis Nanginan itu, segera ia menyampaikan hasratnya itu kepada orang tuanya. Orang tuanyapun tidak mau membendung hasrat anaknya selain dari pada merestuinya. Karena pihak orang tua pun tidak punya keberatan dari halangannya. Dalam waktu yang singkat orang tua Lawongo dengan didampingi oleh beberapa orang kelurganya datang di Nanginan untuk menyampaikan hasrat anaknya meminang kepada gadis Yainsemaren. Setelah beberapa saat mengadakan pertemuan keluarga dua belah pihak. Maka pihak orang tua perempuan menyatakan tidak punya keberatan. Selaku rela menerima maksud Lawongo yang disampaikan oleh keluarganya itu, tinggal menunggu saat perkawinan keluarga menurut bahasa daerah setempat Addombihara. Waktu berjalan terus tetapi saat yang diharapkan berdasarkan keputusan orang tua dua belah pihak belum juga bersuara. Pada suatu pagi yang cerah, Lawongo sedang melamun merenungi nasibnya, entah kapan akan dilasanakan perkawinannya dengan gadis pujaannya.
        Untuk mengisi waktu kesepian itu, dengan tidak disadari ia masuk kamar mengambil Bansi kesayangannya, tiba-tiba berkumandanglah lagu kesayangan ialah lagu daerah tradisional setempat yang mengharukan orang yang mendengar, siapa saja yang mendengar bunyi Bansi itu walupun ia sedang sibut bekerja pasti ia berhenti sejenak terharu mengagumi betapa lihainya ia memainkan alat musiknya itu tanpa kata. Sesudah ia puas memainkan musiknya itu  lalu berjalan menuju pantai, sejenak ia memandang di kaki langit sebelah selatan pantai Maleburen, betapa kesal dalam hatinya, tantangan pandangannya dan bila tertiup angin selatan yang panjang tidak ada sebuah pulau pun yang akan jadi pelindung dari amukan angin dan amukan gelombang, lalu ia pergi meninggalkan pantai dengan suatu perasaan yang tidak puas. Setelah ia kembali kepemukimannyadan masalah itu sudah menambah pula renungan yang barus didalam perasaannya, menghayal pula ia apabila ini dilindungi oleh sebuah pulau pasti pantai ini aman tidak diganggu oleh gelombang bila bertiup angin selatan yang panjang. Hayalannya ini selalu datang mengganggu otaknya setiap ia dirundung kesepian.
        Pada suatu hari Lawongo pergi berburu, pagi-pagi benar fajar siang masih remang-remang, ia sudah turun dari rumah bersama 12 ekor anjingnya yang tangguh, alat penciumannya yang tajam sehingga berlompatan kesana kemari dengan langkah harapan memperoleh hasil buruannya pada saat itu. Demikian juga Lawongo dengan cermat mengawasi anjingnya dengan Alait tersandang dibahunya serta sebuah kris tersirip menghiasi pinggangnya. Demikianlah sikap anjingnya itu bekerja keras masuk hutan belukar, mendaki gunung, menuruni lembah tetapi belum seekor anjingnya menggonggong untuk memberikan tanda bahwa telah bertemu dengan boronannya.
        Waktu semakin berlalu dan perjalanan Lawongo bersama anjingnya makin jauh masuk hutan tetapi belum juga menunjukkan suatu harapan berhasil. Lawongo sudah mulai merasa kesal ditambah lagi dengan terik matahari yang membakar tubuhnya dengan haus yang mengiris lehernya dan anjingnya kelihatannya mulai surut semangatnya karena belum juga menemui lawannya, ditambah juga perutnya mulai keroncongan. Lalu Lawongo berpikir sejenak dan diambilnya keputusan baiklah ia beristirahat sejenak, dicarinya tempat yang baik untuk berteduh melepaskan lelahnya ialah ditepi sebuah sungai yang cukup besar ialah sungai Alawaga, sebuah sungai yang kira-kira 10 Km jauhnya di sebelah utara dari desa Damau sekarang. Tiba-tiba mengantuknlah ia lalu tertidurlah ia dengan pulasnya, lama benar baru ia terbangun, matahari sudah jauh condong kebarat lama ia berpikir sebab kalau ia mau pulang ke Maleburen pasti ia kemalaman di jalan. Sementara memutar otaknya terlintaslah ingatannya kepada gadis pujannya di Nanginan, karena Nanginan itu tidak jauh lagi dari tempat itu sehingga diambilnya suatu kesimpulan bahwa ia harus ke Nanginan untuk bermalam, dan besoknya sudah berburu akan pulang Maleburen. Anjingnya dipanggil untuk berjalan ke Naginan kira-kira Jam 19.00 wita baru ia tiba di rumah mertuanya. Sesudah ia beristirahat sejenak lalu pergilah ia turun ke sungai untuk mandi, sedangkan tunangannya sibuk memasak di dapur, sesudah ia kembali dari mandi segarlah tubuhnya dan nampaklah ketampanannya, tak lama kemudian keluarlah Yain Semaren dari dalam untuk menjemput Lawongo ke meja makan. Kegembiraan dua sejoli tak terkatakan makan sehidangan layaknya bagaikan suami istri, terlupakan segala kenangan pahit dimasa lalu. Sesudah keduanya makan beristirahatlah keduanya di serambi muka untuk menunggu kantuknya mengundang ke pulau kapuk untuk melepaskan lelah dimalam hening sepi karema siang hari bekerja keras, keduanya masuk kamar tidak lama kemudian tertidurlah keduanya dengan pulasnya.
        Untung tak boleh diraih, rugi tak boleh ditolak, malang menimpa kesyahduan malam pertemuan pertama untuk kedua insan yang terpadu cintanya disaat menjelang remajanya. Karena pada malam itu Lawongo dihantui oleh suatu mimpi. Mimpinya itu ia sedang bergulat dengan seekor babi hutan jantan yang besar dan sangat ganas mengamuk dengan masahnya. Dalam pergulatan itu Lawongo tidak ada kesempatan untuk melepaskan senjatanya (Alait). Kadang-kadang terpukul mundur dan terhuyung-huyung dibuatnya, kalau terlengah sedikit pasti mengalami kekalahan total. Tiba-tiba binatang itu mengambil langkah mundur untuk ancang-ancang serangan hebat, yang sudah diperhitungkan oleh Lawongo karena ia sudah merasakan kondisi pisiknya sudah agak berangsur surut. Dengan kesempatam itu tidak dibuangnya percuma secepat kilat melayanglah Alait (tombaknya) dilontakan kearah binatang itu tapi tidak mengenai sasarannya mengakibatkan makin ganaslah binatang itu. Menyerang dengan membabi buta sehingga sekali waktu ia hilang keseimbangannya, kakinya terpeleset sehingga ia jatuh. Sebelum ia dapat berdiri, binatang secepat angin menyerang Lawongo dan Lawongo dapat menolaknya, firastnya timbul Alait sudah berpindah dan berada di daerah binatang , binatang itu berdiri mengamuk teringatlah ia kepada kerisnya yang masih tersisip dipinggangnya, hanya kerisnya itulah menyatu satu-satunya untuk menetukan kalah menangnya pertarungan maut yang dahsyat itu. Asal dengan perhitungan tepat pada sasaran dengan sekali tercantum akan berakhirlah pertarungan itu.
        Awan hitam menutupi bumi pemukiman Nanginan, malam juga gelap gulita hitam pakat, disana sini kilat sambar menyambar diikuti dengan bunyi halilintar membelah bumi memecah anak telinga seakan-akan bumi dengan turunnya hujan yang lebat bagai dicurahkan dari langit, layaknya menyembahkan seluruh warga Naginan hanyut dalam tidurnya karena dinginnya angin malam. Dan menurut pendapat mereka pada saat itu,  apabila ada hal-hal yang sangat berlebihan semacam itu, ada sesuatu peristiwa yang terjadi dilingkungan dan keluarga Raja atau sedikit-dikitnya dilingkungan keluarga bangsawan-bangsawan dan hal ini tidak meleset menurut tradisi.
        Bertepatam dengan tangan Yaen Semaren, menyentuh tangan Lawongo untuk membangunkan Lawongo, bertepatan pula dengan mimpi Lawongo menancapkan dan menghujamkan kris itu ketubuh binatang itu, tetapi bukan tubuh babi raksasas itu melainkan tubuh gadis pujaannya sendiri Yaen Semaren, dengan tidak dapat berkutik sepatah katapun selaintubuh itu lemah lunglai berlumur darah tergeletak di lantai, Lawongo belum sadar dari mimpinya, korbannya dibiarkan saja, kerisnya dicabut dari tubuh gadis itu, dimasukkan kedalam sarungnya lalu melangkah kesudut kamar untuk mengambil tombaknya serta memanggil anjingnya untuk berburu, setela ia sudah berjalan sadarlah ia dari tidurnya. Setelah hari sudah siang orang tua gaadis itu memperhatikan kamar anaknya masih dalam keadaan tertutup rapat pintunya. Lama ditunggu sehingga matahari sudah tinggi dan pintu kamar anaknya berlum terbuka, entah apa yang terjadi sedangkan ia tahu terutama Lawongo juga bersama-sama tidur dalam kamar itu. Lama-lama ditunggunya sehingga ia tidak dapat menahan kesabarannya ingin cepat mengetahui keadaan anaknya. Didekatinya pintu lalu diketuk tapi tidak ada jawaban, ketuk kedua, ketiga, keempat dan seterusnya semua sia-sia membisu. Untuk mempercepat kebenaran dan kecemasannya itu ditendangnya pintu sehingga pecah. Matanya mengintip dari pecahan tapi tidak sempat melihat suatu apa. Didobraknya terus pintu itu, lalu ia masuk mengamati sebab mungkin keduanya sudah lari ke Maleburen tiada setahu orang tuanya. Setelah diselidiki kamar itu dengan telitih kelihatan sesosol tubuh tergeletak dilantai dengan tidak bernyawa lagi dan sudah terkapar kaku dengan bekas tusukan sebuah kris didadanya.
        Setelah diamatinya tubuh anaknya sendiri ia menjerit dan menangius sejadi-jadinya dan berdatanglah para tetangga serta warga masyarakat Nanginan untuk berkabung. Kepala keluarga Nanginan sudah hadir pula lalu diadakan proses untuk pengambilan datanya mengenai kematian gadis itu. Dan tiap-tiap pendapat dikeluarkan tetapi kesimpulannya yang ditarik oleh banyak orang bahwa perbuatan yang biadab dan beji ini adalah perbuatan Lawongo semalam dirumah gadisnya itu dan sekarang orang tersebut telah melarikan diri.
        Lalu semua laki-laki menyandang kapak dan pedang masuk hutan untuk mencari kayu mentah untuk dijadikan Bahungga dalam bahasa setempat yang artinya : Peti Mayat. Berita kematian Yaen Semaren ini sudah sampai juga di desa Maleburen sehingga banyak juga berdatangan famili dari Maleburen untuk berkabung. Lawongo dalam perburuannya sehari itu sama sajalah halnya dengan yang kemarin jangankan seekor babi hutan, seekor anak biawakpuntidak, tambahan pula anjingnya lebih malas dari yang kemarin. Makin lama ia berburu, makin jauh perjalanannya tetapi tetap tidak dapat memberikan harapan dalam usahanya. Setelah tengah ia sudah merasa lelah, lapar dan dahaga terbitlah hasratnya untuk beristirahat. Ia beristirahat pada tepi sungai yang dinaungi oleh banyak pohon besar yang cabang-cabangnya bagaikan tangan reksasa yang kuat terentang sepanjang masa, sehingga menyejukkan setiap mahkluk yang bernaung dimusim panas. Dalam perasaan halusnya bahwa ia merasa mahkluk yang terkecil bila dibandingkan dengan alam dan bumi tempat ia berpijak, karena dibuai sejuknya alam tidak lama kemudian tertidur pulalah ia dengan pulasnya bersama 12 ekor anjingnya.  Hari sudah sore benar baru ia terbangun dan ia berpikir pasti ia akan bermalam lagi di Nanginan bersama dengan gadis kesayangannya pula. Maka dengan perasaan risau dan dengan langkah berat menuju pulang sebab dijemput oleh tubangannya dengan tangan hampa, sedangkan ia sudah kenal oleh masyarakat Maleburen dan Nanginan sebagai pemburu ulung yang belum pernah pulang dengan tangan hampa.
        Sementara ia menuju pulang sayup-sayup dari jauh kedengarannya bunyi kapak bersahut-sahutan makin jauh perjalanannya makin dekat dengan bunyi itu dan makin jelas bahwa bunyi kapak itu terdiri dari banyak orang. Setelah didekatinya diperhatikan pekerjaan orang banyak itu ternyata mereka sedang membuat sebuah Bahungga. Dengan tidak ragu-ragu didekatinya lalu ia bertanya entah siapa yang telah meninggal dunia sehingga mereka membuat Bahungga, mereka menjawab : “Apakah saudara belum mengetahui bahwa tunangannya Yaen Semaren telah meninggal dunia tadi malam akibat tusukan sebuah kris di dadanya?”. Urat nadinya seakan-akan kena pukulan yang amat kuat dan dahsyat, jantungnya bagaikan diiris dengan sembilu, ia menangis terisak-isak lalu ia berkata kepada orang banyak itu hentikan pembuatan peti jenasah itu sebab terlalu kecil uatkan yang baru yang dapat ditempati dua orang didalamnya sebab tak ada gunanya saya mau hidup lagi tanpa Yaen Semaren disampingku.
        Orang banyak itu menghentikan pekerjaannya mulai mereka menebang batang pohon kayu yang lebih besar lalu dibuatnya bersama-sama karena hari sudah sore benar. Lawongo berjalan dengan langkah yang tidak teratur, sedangkan hatinya dilanda dengan kesedihan yang tak tertakatakan, dan ia merenungi mimpinya yang buruk itu. Dicabut krisnya dari sarungnya lalu diperhatikannya ternyata banyak darah yang melekat yang sudah membeku inilah yang meyakinkan kebenaran mimpinya itu. Setelah ia sudah sampai dirumah sangat banyak orang yang mengelilingi mayat tunangannya baik dari Nanginan maupun dari Maleburen diantaranya adiknya sendiri Woin Semasyen ada juga disitu. Ia menangis amat sedih lalu ia memamnggil adiknya Woin Semasyen untuk menyampaikan pesannya yang terakhir karena ia tidak ingin hidup sedangkan sudah kehilangan jantung hatinya gadis pujaannya.

        Tak lama kemudian muncullah orang-orang dari hutan menyusung peti mayat. Lawongo berpesan kepada adiknya sebagai berikut : Sekarang bagiku tak layak lagi hidup tanpa Yaen Semaren disampingku karena kematiannya itu atas perbuatanku sendiri maka saya juga ingin mati bersamanya. Mati sekubur bersusun bangkai. Dan  sekarang saya tidak ada waktu lagi untuk banyak berkata-kata dengan engkau adikku karena peti mayat sudah ada diusung orang dari hutan. Berarti waktu sudah dsampai dan sudah waktunya aku akan masuk bersama-sama dalam peti mayat (Bahungga) itu diliang lahat bersama-sama dengan kekasihku yang sangat dicintai buah hatiku dan pesanku demikian ini :
1.    Peti mayat kami harus dimakamkan ditempat asalku ialah Maleburen
2.    Sepanjang engkau berziarah dipusaraku selalu kutandai dengan nada sulingku tandanya kami masih hidup
3.    Dan bila Bansi tak terdengar lagi tandanya saya telah meninggal dunia tetapi ingat akan terhadi sesuatu yang mengherankan ialah akan terjadi disebelah selatan jauh sama sekali kamu sekali jangan kaget dan sekali-kali kamu jangan tunjuk dengan tangan kamu sendiri biarkan sampai ia menjadi sesuatu yang baru sebagaimana yang kamu lihat dan alami.
        Pesan ini sangat diingat dan dirahasiakan oleh Woin Semasyen dan karena ia sangat mengasihi  kakaknya  Lawongo sehingga ia tidak beringsut dari pusara kakaknya. Woin Semasyen telah bermimpi apabila dapat melihat benda putih sampai sejauh mata memandang jangan sekali-kali kau tunjukkan dengan jari telunjuk pada tangan kananmu, bila kau tunjuk maka benda putih tidak akan tumbuh-tumbuhan sehingga telah terbukti pada tahun 534 waktu bangsa Eropa menjual rempah-rempah ke Indonesia dan dibawah arus gelombang ke pulau Damau maka terdengarlah kapal dagang Eropa itu di pulau karang Napombaru. Akan tetapi melalui berkat Tuhan akapal cepat bertolak sehingga kapal dan awak kapal selamat dari topan dan gelombang Napombalu disebelah barat pelabuhannya sangat memungkinkan, tetapi disebelah Tenggara keluar air tawar dan disebelah selatan airnya sangat busuk. Bangsa Eropa datang ke pulau Damau sebagai petunjuk jalan mendarat di Damau dengan membawa misi agama katholik seperti :
1.    Santu Fransiscus Xaverius  dari Portugis
2.    Santu Mariono dari Belanda
3.    Santu Vlantein dari Spanyol
        Kemudian di Filipina, Jepang dan terakhir ditiongkok disanalah Fansiscus Xaverius menghembuskan napas terakhir dengan usia 46 Tahun. Lahir 1506 dan meninggal dunia tahun 1552. Santu Mariono dan Santu Vlentein di semayamkan di dalam Gua Arandangan bersama dengan bangsawan-bangsawan yang datang di desa Damau.
        Woin Semasyen selalu dilanda oleh duka nestapa yang sangat mengharukan apa dikata semua telah terjadi nasi telah menjadi bubur. Jenasah Yaen Semaren dimasukkan didalam peti jenasah untuk dimakamkan langsung dipaku papan tutup peti jenasah. Secepat kilat dengan tidak dilhat oleh seorangpun maka Lawongo masuk kedalam peti jenasah itu bersama dengan Bansi kesayangannya.
        Setelah jenasah diberangkatkan Woin Semasyen menyampaikan pesanan  Lawongo yaitu ia bersama tunangannya harus dimakamkan di Maleburen, maka peti jenasah itu diusung orang untuk dikebumikan di Maleburen. Berangkatlah iringan peti jenasah itu denganh penuh kesedihan selesai pemakaman orangpun bubar dan kembali kepemukimannya masing-masing. Tetapi Woin Semasyen tinggal ditempat itu karena sedihnya walaupun oleh orang tuanya dibujuk agar ia harus melupakan semuanya itu. Siang dan malam ia tidak mau bergesar dari pusara kakaknya dan karena selalu dirundung kesedihan bila seekor lalat hinggap dibadannya ia menangis dan bila ia sudah lapar benar baru ia kerumah untuk makan, apalagi kubur itu terletak tidak jauh dari rumahnya dan palung itu tidak hentinya dikumandangkan oleh Lawongo dari dalam peti jenasah.
        Sehari, dua hari, tiga hari dan seterusnya dan pada hari yang keenam mulailah suling itu terputus-putus akhirnya dimalam harinya sudah sayup-sayup dan pada hari yang ketujuh suling itu sudah tidak terdengar sama sekali, berarti Lawongo sudah meninggal bersama-sama tunangannya. Woin Semasyen menangis menjadi-jadi dan tidak dapat dihibur oleh siapapun juga. Sedang ia menangis terliriklah matanya keselatan dikaki langit tersember air laut berbuih-buih seakan-akan terjadi keajaiban. Woin Semasyen hilaf akan pesan kakaknya denga tidak disadari tangannya terangkat jarinya menunjuk kearah keajaiban itu maksudnya memberitahukan kepada orang tuanya dan juga kepada banyak perempuan yang sementara mencuci di muara sungai Maleburen dengan tiba-tiba keajaiban itu terhenti dan diam baru Woin Semasyen menyadari oesan kakaknya itu. Sekiranya tidak ditunjuk mungkin akan jadi sebuah pulau seperti yang direnung oleh Lawongo sewaktu ia berdiri dipantai sebelum ia mengalami musibah. Maka Woin Semasyen menyampaikan hal itu kepada orang tuanya memerintahkan beberapa orang laki-laki yang berani dilaut untuk menyelidiki tempat terjadinya hal itu dengan beberapa buah Beninta (Perahu) lengkap dengan perbekalan dan air yang cukup karena perjalanan itu belum diketahui pasti jauhnya.
        Suatu pagi yang cerah bertolaklah beberapa buah Beninta menuju laut lepas dikaki langit sebelah selatan dari Maleburen, berlayar menurut angin utara yang sepoi-sepoi serelah 3 jam berlayar nampak dari jauh segumpal daratan dengan pasirnya yang putih tetapi disitu mereka kembali menolak Beninta mereka untuk segera kembali ke Maleburen, dan tempat itu mereka namakan : NAPOMBALU yang artinya ialah “Suatu tempat yang terjadi oleh suatu perubahan tiba”. Tempat itu terletak disebelah selatan dari Kampung Damau sekarang ini jauhnya 3 ½ mil dari Damau.
        Sebagai ciri khas dari cerita ini ialah siapa saja mau ke Napombalu harus menjaga keras pantangannya seperti tidak boleh sementara berjalan menunjuk sesuatu ditengan laut dan bila didaratan Napombalu tidak boleh menggaruk-garuk pasir atau melempar barang dan membawah barang itu hidup-hidup untuk dijadikan permainan, demikian juga kerikil dan pasir hal ini kalau dilanggar akan terjadi hal-hal yang mendatangkan bencana, akan terjadi ombak yang besar, arus yang kuat, sehingga pulang kekampung mengalami perjalanan yang sulit kalu bukan hanyut atau tenggelam. Dan sampai sekarang ini di Pulau Kabaruan masih ada peribahasa seperti air mata Wois Semasyen yang artinya dengan sedikit saja tertanggung sudah ia menangis.

SEJARAH DESA DAMAU KECAMATAN DAMAU TALAUD

Desa Damau terbentuk jauh sebelum tahun 1200 Masehi. Dibawah pimpinan Raja MAGUTTA putera Damau. Sejarah berlangsung terus menerus  disusul dengan datangnya 5 (Lima) bangsawan di desa Damau. Bangsa yang menetap di Damau yakni di pulau Damau sampai meninggal dunia di Damau sampai jenasahnya disemayamkan dan dikuburkan bersama–sama dengan pahlawan-pahlawan bahkan bangsawan-bangsawan desa Damau ditempat yang bersejarah bernama GUA ARANDANGANNA. Sedangkan pekuburan di MALUTO dinamakan LUMENTEN yaitu tempat pekuburan orang-orang MALUKU yang meninggal dunia disana.
        Dari kelima bangsa yang datang itu masing – masing :
        Bangsa Portugis
        Bangsa Inggris
Bangsa Spanyol
Bangsa Belanda
Bangsa Indonesia yaitu orang Maluku sebagai penunjuk jalan.
        Bangsa Eropa yang datang di desa Damau pada tahun 1534 Masehi hendak bermaksud untuk berdagang dan menjual rempah-rempah dan juga membawa misi keagamaan. Kedatangan bangsa Eropa di Damau disambut baik oleh : RATU PAPUSSYA. Kemudian RATU PAPUSSYA menyuruh anak buanya untuk menjemput dipantai, sesudah dijemput lalu dibawanya untuk menghadap Ratu Papussya dan dimintai keterangan apa maksud dan tujuan mereka datang, sebab anak buahnya Ratu Papussya belum mendalami bahasa asing, setelah ditanya oleh bangsa Eropa dengan langtang ia menjawab : Damau dan untuk seterusnya tidak mengerti.
        Desa Damau mempunyai pelabuhan laut yang dinamakan MALEBURREN, dengan artinya pertemuan dari lima bangsa. Desa Damau adalah sebuah desa yang menjadi tempat duduknya seorang Raja putera desa Damau yang bernama : MARADIA PONTO pada pangkalnya TOWO dan PADIAN.  MARADIA PONTO adalah Raja yang pertama ditanah PORODISA, yang sekarang disebut Kepulauan Talaud yang kedudukanya di Damau sedangkan pada Pamelotan sebagai saudaranya Raja di Sawan Malengko yang sekarang disebut Mangaran.
        MAGUTTA II kawin dengan RIWUWASING mendapatkan anak MARADIA PONTO . MARADIA PONTO kawin dengan WASILAWEWE putri dari Raja SIAU dan mendapatkan anak yang bernama : LOKONBANUA II DAN UNSONG BAHEWA. LOKON BANUA II kawin dengan istrinya MANGIMANDAMPEL.mendapatkan anak LOROSEGO. Perkawinan antara MARADIA PONTO dengan WASILAWEWE telah dianugrahi Tuhan dua orang putra yang bernama : LOKON BANUA II DAN UNSONG BAHEWA. UNSONG BAHEWA kawin dengan SG.GEPE mendapat anak RAJA SUMALLEA dan NG.NASAMBE. Nama Raja ini mulai diubah pada masa pemerintahan belanda yaitu mulai tahun 1602 pada zaman VOC nama Raja ini dirubah menjadi Ratu oleh Ratu  WELHELMINA.

        Ratu Sumallea kawin pertama dengan Saragen mendapat anak :
Ratu Gumansa     di Damau
        Ratu Bawanda    di Akas           
        Ratu Sarai    di Taduwale - Peret
        Ratu Tainginan    di Birang
Ratu Talarangen    di Pantuge
Ratu Tadirian     di Kabaruan
        Sg.Nabeno    di Nanusa
        Ratu Sumallea kawin kedua dengan Woi Wintan mendapat anak :   
Ratu Maiwuwun     di Beo
Ratu Maminsurrung    di Awit
Woulla     di Bambung
Alo’oa    di Alo
Parawo    di Pulutan
Rago    di Kalongan
        Woi Wengke    di Moronge – Salibabu
        Pada mulanya Damau yang sebutanya pulau Damau menjadi tempat mendaratnya bangsa Eropa yang pertama dalam kurun waktu beberapa tahun lamanya kira – kira 13 tahun (1547) datanglah beberapa keluarga dari 4 bangsa yang berasal dari Bangsa Eropa dengan tak mengenal terik panas disiang hari dan embun dimalam hari serta tak mengenal diombang - ambingkan oleh arus dan gelombang. Keluarga berusaha dengan begitu jerih payah mencari tempat penguburan orang tua mereka, sambil mengikuti kompas perjalanan sehingga tidak hilang jalan dan akhirnya mereka temui.
        Pulau Damau berubah menjadi pulau Kabaruan setelah diduduki oleh kepala Distrik Kejaguguan yang berkedudukan di Mangaran oleh : Jagugu Niklas Rarange Gumansalangi pada tahun 1889 diwaktu zaman Pemerintahan Belanda. Pada tahun 1932 datanglah seorang pastor yang berasal dari bangsa Belanda yang bernama pastor PANSLOBE bersama Guru E. Sandehang ke desa Damau tujuanya ke Gua Arandanganna dan diapit oleh kedua kepala kampung Damau dan Akas, kepala kampung Damau : SIMON TAASIHE BAWANGUN dan kepala kampung Akas : DEREK TAASIHE BAWANGUN  menuju ke GUA ARANDANGANNA yang bersejarah ternyata bahwa masih banyak tulang-tulang bangsa Eropa yang berantakan dan peti-peti mayat yang berkelimpangan serta rambut-rambut yang masih utuh.

KEADAAN  GEOGRAFISNYA

        Desa Damau adalah salah satu desa yang berada di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak geografisnya berada pada 60 LU dan 1270 BT. Pelabuhannya yang sangat menarik serta teluknya yang cukup lebar karena terletak diantara dua tanjung yang menyempit pelabuhan yaitu Tanjung Pallo dan Tanjung Turran, serta menghadap arah angin selatan.
        Didepan Pelabuhan terdapat sebuah Pulau Karang yang disebut : NAPOMBALU yang terletak kurang lebih 8 mil dari tepi pantai, sehingga bertiup angin selatan keadaanya jadi ribut. Musim penghujan di Desa Damau atau pada umumnya di Pulau Kabaruan terjadi sekitar bulan: Januari, Februari, Mei, Juni, Nopember dan Desember.Sedangkan musim panas terjadi sekitar bulan: Maret, April, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Keadaan ini menunjukkan hidup masyarakat yang cukup menggembirakan karena situasi alam dan potensi-potensi didalamnya mampu melayani masyarakat.

KEADAAN  DEMOGRAFIS

        Berdasarkan sejarah penduduk desa ini berasal dari beberapa bangsa yaitu :
Bangsa Portugis
Bangsa Inggris
Bangsa Spanyol
Bangsa Belanda
Bangsa Indonesia yaitu orang Maluku sebagai petunjuk jalan
        Perkiraan penduduk desa pada waktu itu tidak dapat diketahui pasti, hanya dapat diperkirakan berdasarkan cerita orang tua-tua yang memberikan informasi dengan dibuktikan oleh sejarah desa Damau, yang terlibat dalam sengketa desa Bulude dan Mangaran. Dimana mereka orang Bulude lari ke Damau meminta bantuan katanya : Mereka diserang oleh orang Mangaran dengan jumlah prajurit 800 orang (diluar laki-laki cadangan, wanita dan anak – anak). Pada waktu orang Bulude lari ke Damau untuk memintah bantuan karena diserang oleh orang Mangaran dengan jumlah prajurit 800 orang, maka prajurit dari desa Damau sangat bangga dan mereka teringat kata gagasan perang dari Ratu Papussya ketika menyerang melawan Salibabu karena terdorong ucapan kata perang secara adat yang diucapkan oleh LUMARAHA dan RATU BAILAN ketika Ratu Papussya meminang kepada RARAETTARA. Prajurit yang kuat dan perkasa yang berasal dari desa Damau dari pada mati ditimpa wabah penyakit oleh Ratu Papussya lebih baik berperang melawan orang Salibabu.


        Demikian juga kata RATU MALAE ketika memimpin prajurit dari Damau dan Akas, termasuk RATU TAMALOMASSA turut juga jadi korban akibat peperangan Bulude dan Mangaran. Kata gagasan dari RATU MALAE ketika melawan Mangaran untuk membela orang Bulude sebagaimana kata gagasan perang dari Ratu Papussya bahwa : Dari pada prajurit yang sebanyak ini telah meninggal dunia termasuk Ratu Tamalomassa maka kita harus melawan orang Mangaran demi keselamatan orang Bulude. Kata gagasan perang ini bila diterjemahkan dalam bahasa daerah demikian :
MAPPIANNE  EHATTU RAMAU  YAPPA  SADAU  HAITTA
MAPIANNE  ERE  MAHEETTA.

        Pada waktu itu banyak desa tetangga tidak membuat pelanggaran terhadap desa Damau, karena memang takut akan prajurit dari Damau, yang sangat kuat dan berani serta jumlahnya sangat banyak.
        Ungkapan Ratu Papussya diatas menurut orang beragama tidak pantas sebab terlalu tinggi dan angkuh jika ditinjau makna kalimatnya karena seakan-akan Tuhan tidak mempunyai kuasa penuh. Setelah usai sengketa Bulude dan Mangaran, mulai merasa lelah. Wabah penyakit cacar dan Influenza sehingga mengakibatkan banyak penduduk desa Damau yang meninggal dunia terutama keturunan prajurit sewaktu perang. Ratu Papussya adalah raja yang berani sewaktu melawan Mangaran ketika menyerang Bulude, maka gugur satu demi satu akibat wabah penyakit cacar yang sangat hebat meraja lelah dan semakin mengganas menyebabkan penduduk desa Damau 2/3 meninggal dunia.
        Perkiraan penduduk desa Damau mulai dari Ratu Papussya sebagai berikut :
            Tahun  1530  berjumlah  3000  jiwa
            Tahun  1800  berjumlah  6000  jiwa
            Tahun  1900  berjumlah    500  jiwa
            Tahun  1940  berjumlah    700  jiwa
            Tahun  1950  berjumlah    800  jiwa
            Tahun  1960  berjumlah    900  jiwa
            Tahun  1970  berjumlah  1010  jiwa
            Tahun  1980  berjumlah  1130  jiwa
            Tahun  1982  berjumlah  1183  jiwa
            Tahun  1983  berjumlah  1195  jiwa

        Ratu Papussya kawin dengan dengan Woi Raraentala  putri dari Salibabu sebagai istri yang setia, dapat menunjang serta membantu tugas dan kerja dari suaminya terutama dalam melayani dan mengembangkan kearah kemajuan masyarakat demi terciptanya masyarakat adat dan agama.


        Masuknya agama yang pertama di desa Damau yang disambut oleh Ratu Papussya  adalah agama Katholik pada Tahun 1534 oleh pedagang bangsa Eropa yang dipimpin oleh ketiga Santu antaranya adalah ...
    a.    Santu Franciscus Xaverius dari Portugis
    b.    Santu Mariono dari Belanda
    c.    Santu Vlantein dari Spanyol
    Santu Franciscus Xaverius menurut sejarah gereja dari Roma yang diperlihatkan oleh Bapak Uskup Manado Bapak Suwatan pada tanggal 25 April 1994 di Mangaran kepada                                   H.M. BAWANGUN  yang disaksikan oleh Pastor : SUMARANDAK, MSC dan tua-tua umat katholik bahwa Santu Franciscus Xaverius, mengembangkan agama katholik di Filipina, Jepang dan terakhir ke Tiongkok dan disanalah ia berpulang ke Rahmatullah. Dalam usia 46 tahun yaitu 1552. Dan umat yang ada di Damau itu dipercayakan kepada kedua Santu yaitu : Santu Mariono dan Santu Vlantein. Ketika kedua santu meninggal dunia maka agama katolik di Damau sudah tidak lagi berkembang dengan baik, atas kebijaksanaan dari Ratu Papussya dari pada umat kembali kemasa lampau atau masa yang tidak mengenal agama, maka Ratu Papussya ke Pulau Salibabu yaitu di desa Salibabu untuk mengambil pendeta : BOVENKAN  yang mempermandikan umat katholik menjadi Kristen Protestan.

KEADAAN SOSIAL BUDAYA (ADAT ISTIADAT DI DESA DAMAU)

    Dibawah tahun 1800 penduduk desa Damau kepercayaan ANIMISME masih kuat walaupun agama katolik sudah ada, dan agamapun belum dapat berperan dengan baik, sebab kepercayaan Animisme masih kuat. Mantra-mantra memegang peran dilubuk hati masyarakat. Agama hanya berperan dilingkungan Ratu. Seperti di desa Taduwale dan desa Peret. Karena pada waktu itu pimpinan Ratu di Damau sudah beralih tangan, maka oleh RATU BELANDA dan RATU INGGRIS  dilantik : RATU BAWANGUN sebagai RATU’N’TAMPA (wilayah) dengan batas wilayahnya mulai dari :  NALOWANGAN di desa PANGERAN s/d TATTANGNGANNAPUTTA di desa PANTUGE meliputi : 7 desa yaitu Desa Pangeran, desa Peret, desa Taduwale, desa Damau,desa Akas,desa Birang, dan desa Pantuge sebagai batas wilayahnya.
    Pesuruh dari Raja Inggris bersama-sama dengan orang Belanda sebagai kaum penjajah datang ke tempat Istana Raja Bawangun untuk meminjam pakaian kerajaan dijadikan contoh untuk pembuatan pakaian Raja di Kerajaan Inggris dan sebagai penjamin apabila pakaian tidak dikembalikan maka harus ditinggalkan jaminan berupa piring besar yang dalam bahasa keluarga Raja Bawangun disebut “MALU’U”, dan sampai sekarang pakaian Raja Bawangun tidak kembali ke Kerajaan Bawangun sehingga piring tersebut menjadi kepunyaan keluarga Raja Bawangun.
        Kedudukan  RATU (raja) BAWANGUN sebagai Ratu’n Tampa(raja wilayah) berada di gunung NENAS atau wowon pesyangin, ialah didaratan tinggi yang terletak antara desa Taduwale dan desa Peret sekarang tempat itu dibuktikan dengan kubur dari RATU(raja) BAWANGUN dan 9 orang kemanakannya meninggal masih perawan. Pada tahun 1963 kubur itu masih utuh keasliannya ditandai dengan ukuran zaman Hindu ialah gambar binatang-binatang yang dianggap sakti seperti Buaya, Ular Naga yang menakjubkan hati bila memandangnya. Sayang pada tahun 1974 keasliannya hilang lenyap sebab dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk benda-benda purbakala, hingga sekarang belum ditemukan barangnya. Sebelum orang Belanda datang di Pulau Kabaruan Ratulah yang berperan di desa ini. Semua kekuasaan ada ditangan Ratu. Dan semua keputusan hanya keluar dari mulut Ratu. Ratu menjaga ketat kerukunan masyarakat agar yang maha kuasa tidak mendatangakan malapetaka seperti : berkecamuk wabah penyakit, melanda kemarau panjang mengakibatkan air sungai kering, kekurangan bahan makanan, dan selalu menjadi perhatian Ratu jangan sampai terjadi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kehidupan.
        Kehidupan sosial masyarakat serta kebudayaan yang sudah menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat seperti : Berbuat cabul yang artinya : Berzinah orang lain punyai istri atau kata lainnya merusak rumah tangga orang lain, membunuh dengan doti (mistik) mencuri, menipu, dan lain-lain. Yang bertentangan dengan kebudayaan, dalam hal ini kepada siapa yang melanggar ketentuan sosial dan kebudayaan akan dikenakan sanksi :

    1.    Yang berbuat cabul atau zina kedua-duanya diikat dengan tali pada sebiji batu besar, lalu ditenggelamkan didasar laut dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat desa agar kejahatannya tertutup oleh laut dan tidak berbau lagi dilingkungan masyarakat, juga supaya tidak diwariskan keluarga terlebih kepada anak dan cucu serta keturunannya.
    2.    Yang membunuh dengan mistik atau doti ia ditanam hidup-hidup dalam tanah agar perbuatannya jangan mencemarkan kebahagiaan masyarakat.
    3.    Yang mencuri atau menipu, hendaknya mengadakan pelakat (uar-uar) pada sepanjang jalan desa dengan digantungkan dilehernya barang curian/tipuan dengan perkataan : Jangan meniru perbuatan saya yang dapat menyusahkan sesamanya.
        Di desa Damau hingga sekarang ini masih ada turunan yang tugasnya menyumbat sungai bila airnya kering, menghilang sampai ditanah dan dasar sungai akibat dilanda musim kemarau, setelah selesai dilaksanakannya tugas itu, mengalirlah air itu sebagaimana mestinya. Untuk mempermudah pengawasan Ratu, maka dalam tugasnya dibantu oleh dua orang pembantunya disebut : INANGU WANUA yang mengatur 8 Kepala Rukun Keluarga (suku) terdiri dari : 2 bagian yaitu  :
        B  o  w  o  n  e  :
1.    Rukun Keluarga Sarorot – Papuantara di kepalai oleh Iskandar Tuage
2.    Rukun Keluarga Bauda – Lawoan  di kepalai oleh Dansi  Bauda
3.    Rukun Keluarga Mayanduga – Woinsema  di kepalai oleh Musa Ansiga
4.    Rukun Keluarga Maitulung – Mahana  di kepalai oleh Simson  Maitulung
    B  a l  a  n  e  :
1.    Rukun Keluarga Riaghi – Wenti  di kepalai oleh Sukarna Umbeang
2.    Rukun Keluarga Rompido – Pitalare   di kepalai oleh Celsius Waloni
3.    Rukun Keluarga Laluraa – Wahing   di kepalai oleh Welem Manaru
4.    Rukun Keluarga Uman – Maludai   di kepalai oleh Nimet Tindige
        Tiap-tiap rukun keluarga beranggotakan menurut struktur keturunan leluhur sukunya seperti: 40, 50, 60, dan seterusnya. Dan dari 8 rukun keluarga semuanya itu dibawah koordinasi Ratu Banua. Ratum Banua di Desa Damau adalah keturunan dari RATU TAASIHE. Ratu Banua adalah kepala adat di desa.
STRUKTUR RATU BANUA DI DESA DAMAU – TADUWALE – PERET

1.    Ratu Taasihe Ratu Banua desa Damau tahun 1800 s/d tahun 1842
2.    Ratu Binilang Ratu Banua desa Damau tahun 1842 s/d tahun 1881
3.    Dalendim Taasihe Bawangun Ratu Banua desa  Damau, desa Taduwale dan desa Peret tahun 1882 s/d tahun 1910
4.    Jakob Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau, desa Taduwale dan desa Peret tahun 1910 s/d tahun 1938
5.    Simon Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1938 s/d tahun 1968
6.    Derek Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1968 s/d tahun 1988
    Ket. Mulai Tahun 1950 memangku jabatan Ratu Banua sebagai perpanjangan tangan Ratu Banua Simon Taasihe Bawangun.
7.    Julius Wuntu Taasihe Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 1988 s/d tahun 2003
8.    Hugu Murits Bawangun Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 2003 s/d  tahun 2009
9.     Arvan Hurumani Bawangun, SH,MH. Ratu Banua desa Damau,desa Taduwale dan desa Peret tahun 2011- s/d sekarang.
    Inangngu Wanua senantiasa membuat perencanaan untuk diperhadapkan kepada Ratu Banua demi kesejahteraan rakyat dan masyarakat. Bila ada tetangga yang mengalami kesulitan hidup, secara ramai masyarakat menangani bersama. Komunikasi dan kerjasama antara desa tetangga berjalan lancar, ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial budaya di desa Damau memegang peranan yang sangat tinggi dan tidak dapat diganggu oleh siapapun juga. Kalau ada seorang yang ingin mencoba kehidupan sosial di desa Damau, maka resikonya ditanggung sendiri, keadaan sosial budaya didesa secara turun-temurun tak musnah dari tengah masyarakat.
    Inangngu Wanua atas perintah Ratu Banua senantiasa membuat perencanaan (bekerja sama dengan pemerintahan desa, didesa) untuk diperhadapkan kepada Ratum Banua demi kesejahteraan rakyatnya.

KEADAAN SEKOLAH
SEJARAH SINGKAT SEKOLAH

    Pada abad ke XV dengan datangnya 5 bangsa di desa Damau yang mereka beri nama desa Damau sesuai dengan peta pada waktu pemerintahan Belanda dengan Ratunya ialah RATU WELHELMINA. Desa Damau dengan pelabuhannya bernama : MALLEBUREN. Kedatangan bangsa Eropa di desa Damau, pada saat itu mulailah agama dan pendidikan sehingga masyarakat Damau telah mengenal pendidikan.
    Dalam hal ini pendidikan dimulai pada tahun 1500 Masehi. Pada saat orang-orang Portugis mendirikan agama katolik dibawah pimpinan : Santu Franciscus Xaverius, Santu Mariono, Santu Vlantein  pada tahun 1534. Setelah beberapa tahun agama berkembang, segera mereka mengambil kebijaksanaan untuk mendirikan Gereja Katolik sebagai tempat peribadatan mereka yang terletak pada perempatan jalan damau saat ini. Pendirian gereja  didasarkan pada keseluruhan rakyat desa Damau telah menggabungkan dirinya dalam agama katolik.
    Desa Damau dibawah pimpinan pemerintahan Ratu Papussya tetapi tak lama kemudian meninggalkan kedua Sang Santu. Dengan meninggalnya kedua sang santu, menghilanglah agama katolik dari pandangan masyarakat. Kemudian mereka berunding pentua adat maka hasil musyawara adat akhirnya  Ratu Papussya pergi ke Salibabu untuk menjemput  Pendeta Bovenkan pendeta Protestan di Salibabu, agar mempermandikan masyarakat Damau berjumlah 70 rumah tangga untuk masuk agama protestan secara resmi. Pendidikan yang dipimpin oleh Pendeta Bovenkan dari tanah Belanda pada tahun 1559. Sesudah Pendeta Bovenkan diteruskan oleh : H. J . STOKEN  yang beristrikan ADELEIDE (isterinya sampai meninggal dunia tetap tinggal dijakarta).
    Sesudah Stoken diganti oleh SWAN. Setelah Swan meninggal dunia, lalu diganti oleh SYBOL dari desa Kiama, VANDEN BECK di Lirung, sesudah itu dilanjutkan oleh BRILLAM TOCHMAN di Beo  GUNTHER di Mangaran, dan RIGKTER di Essang. Pendeta VANDEN BECK kepada pendeta KAYMADEMA. Pada tahun 1914 – 1919  mulailah pendidikan  yang dipimpin oleh   JOHANIS ASUMBAK dari salibabu sebagai Kepala Sekolah. Setelah Johanis Asumbak, lalu diganti oleh : ANTHONIUS GEDOAN dari Bulude sebagai Kepala Sekolah  (1919 – 1922). Anthonius Gedoan kepada penggantinya : SOLEMAN ELUNGAN dari Mangaran (1922 – 1925). Soleman Elungan di ganti oleh : HERMANUS ULAEN dari Bulude (1925 – 1929) Hermanus Ulaen kepada Guru : PHILIPUS ESSING dari Bulude sebagai pengganti kepala Sekolah (1929 – 1933)  Kepala Sekolah : JOHANIS TAREMPAS dari Bulude ( 1933 – 1938 ) dan dilanjutkan oleh : JOHANIS GUMOLUNG dari Sereh ( 1938 – 1941 ). Johanis Gumolung  kepada penggantinya : WELEM BAHEWA dari Sereh ( 1941 – 1951 ).  Guru JOSIAS  TAASIHE diganti oleh RUBEN WILLIAM WULLAGE dari Moronge ( 1951 – 1959 ) dari Ruben William Wullage kepada penggantinya ALBER AMISI dari Moronge ( 1960 – 1965 ) dari Alber Amisi diganti oleh : JEFTA  MANARU ( 1966 – 1978 ) dari Jefta  Manaru kepada penggantinya : OLDEN  BAWANGUN dari Damau   ( 1978 – 1999 ) pengantinya HUGU MURITS BAWANGUN dari Damau (1999-2007) Penggantingnya ALPRINA MANOI dari Kabaruan (2007-………) pengantingya  MAKLON TATEDIL dari Akas  ( 2009 s/d sekarang).

SUSUNAN NAMA-NAMA KAPTEN LAUT / KEPALA DESA KAMPUNG DAMAU SEJAK PEMERINTAHAN BELANDA SAMPAI SEKARANG INI

  1. Dalendim Taasihe Bawangun Kapten Laut Damau mulai tahun 1882 s/d 1885 pada awal permulaan berkembangnya Pemerintahan di kampung damau dan oleh masyarakat langsung dilantik secara adat sebagai, RATUBANUA Damau,Taduwale dan Peret mulai tahun 1872 s/d 1910 pada ahli warisnya anak kandung dari Ratu Binilang Taasihe.
  2. Aunsi Taasihe Kapten Laut Damau mulai tahun 1886 s/d 1888
  3. Agus lope Tindige Kapten Laut Damau mulai tahun 1888 s/d 1890
  4. Niklas Sele dari Siau Kapten Laut Damau mulai tahun 1890 s/d 1892.
  5. Jakob Taasihe Bawangun anak kandung dari Ratu Dalendim Taasihe Bawangun Kapten Laut Damau mulai tahun 1892 s/d 1908 dan memangku jabatannya sebagai Ratu Banua Damau,Taduwale dan Peret sebagai pengganti ayahnya mulai 1910 s/d 1938.
  6. Frants Tindige Kapten Laut Damau mulai tahun 1908 s/d 1910
  7. Tapianus Sandehang dari mangaran kapten laut damau pada tahun 1911 selama 6 bulan.
  8. Johanis  Asumbak alias guru Ontoa dari desa salibabu kapten laut damau mulai tahun 1911 s/d 1913. Pada tahun 1914 mantan kapten laut Johanis Asumbak mulai membuka sekolah rakyat  di desa Damau dan menjadi guru disekolah rakyat.
  9. Pasipor Markus Tinendang dari Pantuge kapten laut Damau mulai tahun 1913 s/d 1916.
  10. Mozes Thobias dari kabaruan kapten laut Damau, mulai tahun 1917 s/d 1920.
  11. Simon Taasihe Bawangun anak kandung dari Ratu Dalendim Taasihe Bawangun kapten laut Damau mulai tahun 1920 s/d 1950, mengantikan saudaranya Jakob Taasihe Bawangun sebagai Ratu Banua Damau, Taduwale dan Peret mulai tahun 1938 s/d 1968.
  12. Derek Taasihe Bawangun merangkap tugas sementara sebagai Kapten Laut Damau pada tahun 1942 selama 6 bulan karena kapten laut damau Simon Taasihe Bawangun disorsing sementara waktu oleh raja Koagow.
  13. Marthinus Prok dari Minahasa tinggal di Damau dipilih dan diangkat sebagai Kepala Kampung Damau mulai tahun 1951 s/d 1961.
  14. Joyakim Taasihe Kepala Kampung Damau mulai tahun 1961 s/d 1965.
  15. Set Taare Bawontea Kepala Kampung Damau tahun 1965 s/d 1998.
  16. Olber Bauda Kepala Desa Damau tahun 1998 s/d 2003.
  17. Malaeki Ubatta Kepala Desa Damau tahun 2003 s/d 2004.
  18. Heryanto Gahauna Kepala Desa Damau tahun 2005 s/d 2011
  19. Jhoni Ughude Kepala Desa Damau tahun 2011 s/d 2017.
  20. Piter Son Tuage Kepala Desa Damau Bowone 2005 s/d 2017
  21. Olber Bauda Kepala Desa Damau Bowone tahun 2011 s/d 2017

Rabu, 02 Desember 2015

BANWAS Per 2014 - 2015


Ketua            : Fandy Bagunda
Sekretaris        : Vinny Notrela Ughude
Anggota        : 1. Jusen Maitum
                        2. Musias Ansiga
                        3. Pikiardo Bawontea

PEMBINA PENASEHAT


PEMBINA/PENASEHAT

1. Arvan Bawangun, SH, MH
2. Dedykarto Laera Waloni Ansiga, SH, MH

Badan Pengurus Per 2014 - 2015

Ketua            : Elrandi Ansiga
Wakil Ketua        : Helen Maitulung
Sekretaris        : Cingli M.Taasihe
Bendahara        : Adhoni Bawangun, SH




BIDANG KEROHANIAN                                                  BIDANG ORGANISASI
    Rosato Bawangun *)                                                          Dirsan Tuage *)
    Aprista Malaru                                                                   Fian Ughude
    Novlyn Bagunda                                                                Dolvrits Tamaheang
                           

BIDANG SOSIAL DAN                                                     BIDANG USAHA DAN
HUBUNGAN KELUAR                                                     DANA
   
Yusuf Ansiga  *)                                                                   Dahlan Maitulung *)
Alfa Bandil                                                                           Yudita Antore
Ardiwijaya Taasihe                                                               Hendrifal Tamaheang
                               

 BIDANG PENGKADERAN 
                                          BIDANG INFORMASI
 DAN GENDER                                                                DAN TEKNOLOGI
Sustria Saruwaba *)                                                           Ponsius Mangero *)
Parni Larengkeng                                                              Miss Atin Awombo
Dewi Amanga                                                                    Max Theo Larengkeng
Faisal Awombo



    Ket :
        *) = Koordinator

Senin, 05 Oktober 2015

Info: 06-10-2015

Hello.... Mohon Maaf Untuk Fitur Galery Dan Sejarah Singkat Belum Tersedia.

Pihak Administrator Akan Terus Memperbaiki Blog Ini Sampai Bekerja Semaksimal Mungkin.

Untuk Pengurus Yang Ingin Memposting Informasi Silakan Mendaftar Terlebih Dahulu Dan Masukan Alamat E-mail Yang Valid Atau Alamat Email Yang Sekarang Sedang Anda Gunakan.

******* Untuk Cara Posting Admin Akan Menampilkan Totorial Cara Posting Di WebBlog****









--------------------------------------       SYALOM    GBU -----------------------------

Rabu, 30 September 2015

Slide 2015
















Selasa, 29 September 2015

WELCOME

WELCOME TO WEB-BLOG HKMDT 2015.........